Seporsi Harapan dalam Seporsi Mie Ayam: Makna Hidup dalam Novel Brian Khrisna

fip.unesa.ac.id, SURABAYA—Ada sesuatu yang sederhana, seporsi mie ayam, yang dalam novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati karya Brian Khrisna, menjadi simbol harapan yang dalam dan sangat manusiawi. Melalui tokoh Ale, seorang pria berusia 37 tahun yang menghadapi depresi akut dan niat mengakhiri hidupnya, novel ini mengajak pembaca menyelami luka eksistensial sekaligus menemukan harapan di tempat paling tak terduga. 

Ale bukan sekadar tokoh fiksi yang putus asa. Ia adalah representasi nyata dari banyak orang yang merasa tertekan, terasing, dan tak punya tempat bercerita. Dalam keputusannya untuk menyantap seporsi mie ayam sebelum mati, Ale menemui orang-orang, kisah-kisah kecil, dan percakapan yang mengajaknya berpikir ulang tentang arti hidup. Melalui pertemuan itulah, ia perlahan menemukan alasan-alasan sederhana yang membuatnya tetap bertahan. 

Salah satu kekuatan novel ini adalah kemampuan Brian Khrisna menyajikan tema berat seperti depresi dan kesehatan mental dengan gaya bahasa yang ringan dan akrab. Meskipun topik utamanya gelap, nada tulisan tak pernah terasa menggurui atau berat secara akademis, sebaliknya, seperti curhat hangat dari teman lama. Di mata banyak pembaca, inilah yang menjadikannya “teman membaca” sekaligus cermin batin.

Dari sudut psikologis, tokoh Ale menggambarkan dinamika yang bisa dianalisis melalui teori psikoanalisis Freud: ada konflik antara id (dorongan bawah sadar), ego (realitas), dan superego (nilai moral). Penelitian menunjukkan bahwa kondisi batin Ale sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, tekanan sosial, dan kecemasan eksistensial. Dalam istilah sederhana: Ale adalah manusia yang rapuh tetapi penuh harap.

Yang menarik, novel ini menyampaikan gagasan bahwa kunci untuk bertahan bukan selalu berpikir positif, tetapi menerima kenyataan dengan sepenuh hati. “Kunci untuk bertahan hidup bukanlah selalu berpikir positif, tetapi mempunyai kemampuan untuk menerima.” Dengan kata lain, penerimaan diri menjadi jalan menuju kedamaian.

Tak kalah penting, Brian Khrisna juga berhasil menumbuhkan empati melalui tokoh-tokoh lain yang ditemui Ale. Setiap pertemuan membuka lapisan luka yang tak terlihat: setiap manusia membawa beban, dan setiap beban itu layak didengar. Ini mengingatkan kita bahwa empati adalah salah satu bentuk kekuatan manusiawi yang bisa menyelamatkan jiwa.

Lebih jauh, novel itu juga menyentil betapa pentingnya apresiasi terhadap diri sendiri: menghargai pencapaian kecil, mengizinkan diri untuk istirahat, dan mengakui bahwa kelelahan itu manusiawi. “Tidak apa‑apa untuk menepi sejenak, memberi ruang bagi luka sebelum kembali melangkah,” demikian semangat yang bisa diambil dari perjalanan Ale. 

Bagi banyak pembaca, Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati bukan sekadar bacaan ringan. Ia adalah cermin, sahabat, sekaligus pengingat bahwa setiap kehidupan, sekecil apa pun porsinya, memiliki nilai. Novel ini menggerakkan kesadaran bahwa kebahagiaan tidak selalu lahir dari pencapaian besar, kadang ia tumbuh dari hal-hal paling sederhana, seperti seporsi mie ayam hangat dan pertemuan dengan manusia yang peduli.

Lewat kisah Ale, Brian Khrisna menanamkan pesan: hidup layak diperjuangkan, bahkan ketika harapan tampak kecil. Dan kadang, cukup dengan seporsi mie ayam, seseorang bisa menemukan alasan untuk terus melangkah.

Dokumentasi: Pinterest