Tenang dalam Tanya

fip.unesa.ac.id, Surabaya- Suara ketukan pintu membangunkan Nara dari tidurnya. Segera ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju arah pintu. Di depan pintu terlihat Airin, teman samping kamarnya berdiri dengan satu koper berukuran sedang, satu tas yang ditentengnya dan satu ransel yang memeluk pundaknya. 

“Kenapa Rin pagi-pagi udah ketok-ketok pintu?”, tanya Nara (sambil mengusap mata yang belum terbuka sepenuhnya)

“Pamitlah, aku mau balik dulu. Tiketku hari ini jam sembilan. Kamu mudik kapan, kok kaya santai banget dari kemarin ngga ada persiapan?’, tanya Airin

“Gampanglah nanti, mepet kayanya. Itu barang segitu banyak kebawa semua? Ngga sekalian kamarnya dibawa!”, jawab Nara sambil tertawa

“Heh, kalo bisa tak bawa mau tak masukin semuanya. Kamu tu kenapa sih satu tahun belakangan ini kaya ngga semangat gitu kalau mau balik?”, tanya Airin (dengan nada penasaran)

“Coba tebak kenapa hayo? (sambil meledek). Ngga ah, aku biasa aja. Mungkin kamu lihatnya waktu aku capek”, jawab Nara meyakinkan

 “Ah udah deh ga tau terserah, ini aku telat nanti, ojolnya udah nunggu. Minta maaf ya kalau aku banyak salah selama ini, aku mau pamit pulang dulu, bye-bye!”, ucapnya dengan nada centil 

“Iya sama-sama, aku juga ya. Maafin kalau aku banyak salah ke kamu, hati-hati di jalan, jangan lupa doa!”, jawab Nara

Airin pergi dengan melambaikan tangannya.

Setelah Airin pergi Nara menutup pintu dan kembali masuk ke kamar. Ia merenungi pertanyaan yang diutarakan Airin tadi. Ia berpikir apakah selama ini alasannya untuk malas pulang karena menghindari rentetan pertanyaan keramat dari tetangga dan sanak saudara itu benar. Lebaran yang seharusnya menjadi momen kehangatan dan kebahagiaan bagi semua orang terasa berbeda bagi Nara. Apalagi semenjak ia menyandang gelar mahasiswa semester akhir. Satu tahun terakhir perkuliahan ini terasa berat bagi Nara. Semua terasa bersamaan masuk ke pikirannya, skripsi, pekerjaan, masa depan, semuanya terasa berat bagi Nara. Belum lagi ketika pulang rentetan pertanyaan yang muncul itu bisa menjadi bom waktu yang meledak. Itulah yang menjadi alasan kenapa akhir-akhir ini dia tidak terlalu senang ketika mendengar kata pulang, terlebih saat momen lebaran. 

Tetapi dalam hati kecilnya ia ingin marah, kenapa hanya karena hal itu bisa merenggut kebahagiannya. Cara menyikapinya selama ini salah, tetapi ia belum mampu untuk membenahi.  Semakin ke sini ia banyak belajar untuk bisa menyikapi hal tersebut. Ia rasa ia cukup dewasa dan mengerti bahwa pertanyaan yang selama ini ia hindari hanyalah sebuah basa-basi semata, ya walaupun basa-basi tersebut kerap kali membuat hatinya jengkel. 

Nara bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju cermin yang ada di lemari pakaiannya, kemudian ia pun menunjuk dirinya yang berada di cermin.

“Huft.. kamu tidak bisa selamanya kabur-kaburan gini, Nara. Ayo kita hadapi,” ucapnya sambil mengepalkan tangannya.

Setelahnya Nara pun menyiapkan pakaian dan barang-barang yang akan ia bawa ke kampung halamannya. Ya, akhirnya Nara pun memutuskan untuk pulang kali ini. Mari kita doakan keberuntungan ada di Nara kali ini.

“Semoga keputusanku untuk pulang ini bener ya Allah,” harapnya sambil menengadah ke langit-langit.

Malam pun datang, Nara pun bergegas menuju stasiun menuju Pekalongan. Ia berangkat menuju stasiun menggunakan transportasi umum, yaitu bus kota Surabaya. Tidak lupa untuk menggunakan earphone kesayangannya seraya mendengarkan lagu favoritnya guna menemani perjalanannya menuju stasiun kala itu. Sesampainya di stasiun, ia pun segera menuju gerbong tempatnya berada. Nara menyadari bahwa pendewasaan itu adalah ketika kamu sudah siap dan menerima keadaanmu sekarang, termasuk siap untuk menghadapi pertemuan-pertemuan yang ada nantinya.

Setelah perjalanan yang kurang lebih sekitar 4 jam lamanya, Nara pun sampai di kampung halamannya. Ia merasa bersyukur masih bisa merasakan suasana mudik dan selamat sampai tujuan.

Assalamualaikum ibu, bapak” salamnya di depan pintu.

Waalaikumsalam… loh Naraa.. balik to? Kok ga ngabarin ibu bapak si nak” ucap ayah Nara seraya memeluk anak yang sudah sangat dinanti kedatangannya itu.

“Heheh biar suprise gitu loh pak, bu. Gimana? Nara berhasil ga buat ibu dan bapak kaget?” 

“Berhasil.. dasar anak bapak yang paling usil ini”

“Ayo masuk, ibu udah masak banyak. Ada opor ayam kesukaan kamu loh, untung aja masih ada, kamu si tidak bilang mau pulang kalau tidak ibu masak lebih banyak tadi.” omel ibu Nara

“Yeyy, tidak apa ibu seadanya saja. Nara kan udah dewasa ibu, melihat kalian sehat seperti ini sudah lebih dari cukup buat Nara.”

Ayah dan ibu Nara yang mendengar hal itu tentu saja tersenyum dengan bangga atas perubahan pola pikir Nara. 

“Nah sekarang Nara makan, kemudian bersih-bersih dan istirahat yaaa” pinta ibu Nara.

Hari yang ditunggu pun tiba, hari penuh bahagia, hari penuh kemenangan. Suara takbir yang bersahutan menambah kehangatan. Pagi ini Nara beserta keluarga mengawali hari dengan sholat Eid terlebih dahulu yang tentunya sebelum itu banyak drama yang harus dilalui. Sepulang dari masjid, kegiatan dilanjutkan dengan sesi maaf-maafan dan tentu saja sesi inilah yang menjadi momen paling haru dan penuh emosional. Segala isi hati, perasaan, ungkapan sayang, semua akan terdengar pada sesi ini. Tak lupa Nara juga menyantap masakan khas lebaran yang telah dipersiapkan ibu dari sebelumnya. 

Ketika hari raya tiba, seperti tradisi sejak dulu sanak saudara dan tetangga saling berkunjung untuk bermaaf-maafan. Waktu tersebut biasanya yang menjadi ketakutan bagi Nara selama ini. Benar saja, pertanyaan-pertanyaan yang bisa dibilang keramat itu dilontarkan. Namun, kali ini Nara tidak merasa tertekan. Ia mampu menghadapinya dengan tenang dan senyuman.

“Nara, ini sudah semester akhir ya. Kira-kira kapan kamu lulus?”, tanya salah satu pamannya

“Insyaallah sebentar lagi paman, mohon doa baiknya ya”, jawab Nara sambil tersenyum

“Sambil skripsian udah pernah nyoba daftar kerja atau belum? supaya kalau lulus ngga bingung. Sepupumu itu lo udah kerja dari waktu dia sekolah dan waktu lulus udah enak”, ucanp bibinya.

“Sudah bi, Nara udah coba apply beberapa tempat dan ada beberapa yang mau wawancara. Minta doanya aja yang terbaik, semoga bisa sukses kaya kakak sesuai dengan kehendak Allah”, jawab Nara dengan santai.

Ibu Nara dari jauh terlihat tersenyum bangga dengan kedewasaan anaknya. 

Sehabis menikmati opor dan ketupat beberapa orang saudara Nara berkumpul dan mengobrol di ruang depan rumahnya, Nara membantu Ibu membereskan dapur. Di dapur Ibu berbicara kepada Nara

“Nak, Ibu bangga sama kamu. Kamu bisa berdamai dengan keadaan, mendengar jawaban kamu ke paman dan bibi tadi. Kamu harus tahu nak, semoa orang itu punya jalan masing-masing. Ada yang jalannya pelan, ada yang jalannya lambat. Ada yang jalannya naik, ada yang jalannya harus turun. Semua sesuai porsinya masing-masing”, ucap Ibu dengan senyuman tulus.

Sungguh, Nara merasa tidak menyesal sama sekali atas keputusannya untuk pulang. Pujian dari ibunya membuat dirinya ikut bangga dengan dirinya sendiri. Nara yang sekarang adalah Nara yang siap untuk segala hal yang terjadi kedepannya. 

Penulis: Cindy Aulia Gultom (PLB) Tita Rahmawati (PLB) 

Dokumentasi: AI