Chatbot sebagai Teman Curhat: Harapan, Risiko, dan Peran Pendidikan dalam Literasi AI

fip.unesa.ac.id Di era digital, chatbot semakin sering digunakan oleh pelajar sebagai teman curhat untuk berbagi perasaan dan mencari dukungan emosional. Teknologi ini dianggap sebagai ruang aman yang dapat diakses kapan saja, menawarkan respons cepat tanpa rasa takut dihakimi. Banyak pelajar yang merasa canggung atau ragu untuk bercerita kepada guru, orang tua, atau teman sebaya akhirnya memilih chatbot sebagai tempat pertama untuk mengekspresikan beban pikiran mereka. Chatbot juga sering dilengkapi pendekatan psikologis dasar, seperti latihan pernapasan, journaling, dan manajemen stres, yang dapat membantu meredakan kecemasan maupun tekanan akademik. Di sisi positif, kehadiran chatbot mampu mengurangi hambatan awal bagi pelajar yang ingin mencari pertolongan, memberikan akses dukungan emosional 24 jam, dan mempermudah mereka memahami gejala stres ringan melalui panduan sederhana. Beberapa pelajar bahkan merasa lebih nyaman curhat kepada chatbot karena sifatnya yang anonim dan selalu tersedia ketika dibutuhkan.

Namun, seiring meningkatnya ketergantungan pada teknologi ini, risiko penggunaannya juga semakin perlu diperhatikan. Ketergantungan emosional pada chatbot dapat membuat pelajar mengabaikan hubungan sosial nyata yang seharusnya penting bagi kesehatan mental mereka. Respons yang diberikan chatbot tidak selalu akurat atau sesuai konteks, terutama dalam masalah psikologis serius seperti depresi, trauma, atau kecemasan berat, sehingga keadaan pelajar bisa memburuk jika tidak ditangani oleh profesional. Selain itu, penggunaan chatbot menghadirkan risiko keamanan data karena curhatan pelajar mengandung informasi pribadi dan sensitif yang dapat disalahgunakan apabila platform tidak memiliki standar privasi yang kuat. Penggunaan chatbot yang berlebihan juga berpotensi menurunkan kemampuan komunikasi interpersonal, empati, serta kemampuan berhubungan dengan orang lain di kehidupan nyata.

Karena itu, peran pendidikan dalam membangun literasi AI menjadi sangat penting agar pelajar dapat memanfaatkan teknologi secara bijak dan aman. Sekolah perlu mengajarkan bagaimana AI bekerja, batas-batasnya, serta etika dalam menggunakannya. Pelajar harus memahami bahwa chatbot tidak benar-benar mengerti perasaan mereka, melainkan hanya memproses pola bahasa yang diberikan. Guru, konselor, dan orang tua tetap harus hadir sebagai pendamping emosional utama, memberikan ruang dialog manusiawi yang tidak dapat digantikan oleh teknologi. Pengawasan penggunaan AI juga perlu dilakukan untuk memastikan pelajar tidak memakai platform berisiko tinggi atau terlalu bergantung pada chatbot. Selain itu, sekolah sebaiknya memilih platform AI yang memiliki keamanan data kuat dan bekerja sama dengan tenaga profesional agar pelajar mendapatkan pengalaman digital yang aman dan etis.

Dengan literasi digital dan literasi AI yang baik, pelajar dapat memanfaatkan chatbot sebagai alat bantu positif tanpa mengorbankan kesehatan mental dan kemampuan sosial mereka. Teknologi ini seharusnya menjadi pelengkap, bukan pengganti hubungan manusia yang tetap menjadi fondasi utama dalam kesejahteraan emosional. Pendekatan yang seimbang antara inovasi digital dan pendampingan manusia akan membentuk generasi yang lebih cerdas, kritis, dan sehat secara mental di era kecerdasan buatan.

Penulis: Alifa