fip.unesa.ac.id, SURABAYA––Dunia pendidikan terus mengalami transformasi. Di tengah berkembangnya paradigma “nilai tinggi adalah tolak ukur pintar”, kini muncul kesadaran baru bahwa kecerdasan manusia tidak dapat diukur hanya melalui kemampuan matematika atau sains. Konsep Multiple Intelligences yang dikembangkan Howard Gardner menjadi rujukan banyak pendidik untuk memahami bahwa anak-anak lahir dengan potensi yang beragam dan unik.
Menurut teori tersebut, kecerdasan manusia terdiri dari sembilan aspek: linguistik, logika-matematika, visual-spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan eksistensial. Kesembilan kecerdasan ini memungkinkan setiap anak belajar dengan cara yang berbeda dan berkembang sesuai talentanya masing-masing. Pendekatan ini mulai diterapkan secara bertahap dalam praktik pembelajaran di sekolah dasar, seiring dengan penerapan Kurikulum Merdeka yang memberi ruang lebih besar bagi diferensiasi pembelajaran.
Beberapa sekolah sudah mulai mengintegrasikan berbagai model kegiatan yang mendukung keragaman kecerdasan. Misalnya, proyek membuat poster atau maket untuk mendukung kecerdasan visual-spasial, kegiatan rekreasi alam untuk kecerdasan naturalis, simulasi sosial untuk kecerdasan interpersonal, hingga musik dan drama yang membantu siswa mengekspresikan kreativitas melalui seni.
Pendekatan ini juga dinilai mampu mengurangi stigma yang selama ini muncul pada siswa yang tidak menonjol dalam mata pelajaran numerik atau teoritis. Banyak pendidik menilai bahwa fokus pembelajaran yang lebih luas dapat membantu siswa menemukan jati diri lebih awal sekaligus meningkatkan motivasi belajar.
Bulan Novenia, mahasiswa Teknologi Pendidikan yang ikut mengkaji penerapan konsep ini dalam pembelajaran dasar, menyampaikan pendapatnya mengenai perubahan paradigma tersebut. “Setiap anak punya kecerdasan masing-masing dan tidak semuanya bisa diukur dengan ujian tertulis,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa guru membutuhkan perspektif baru agar pembelajaran lebih merata: “Pendidikan seharusnya memberi ruang pada anak untuk menemukan potensi dirinya, bukan sekadar menilai kemampuan berdasarkan satu jenis kecerdasan saja.”
Dengan berkembangnya paradigma pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk, harapannya sekolah dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih humanis, relevan, dan adaptif terhadap ragam potensi siswa. Guru kini dituntut tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, tetapi juga fasilitator perkembangan karakter dan talentasi peserta didik.
Perubahan ini menjadi langkah penting menuju pendidikan yang lebih adil dan bermakna, pendidikan yang melihat anak bukan sebagai angka, tetapi sebagai individu dengan kemampuan, impian, dan cara belajar yang unik. Di masa depan, pendekatan ini tidak hanya diharapkan mampu meningkatkan capaian akademik, tetapi juga menumbuhkan generasi yang percaya diri, kreatif, dan mampu menemukan peran terbaiknya dalam masyarakat.
Dokumentasi: Pinterest