fip.unesa.ac.id – Di tengah percepatan teknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dunia pendidikan menghadapi kebutuhan mendesak untuk membekali peserta didik dengan keterampilan berpikir yang relevan. Artificial Intelligence (AI) bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi telah menjadi ekosistem kerja dan belajar yang memengaruhi hampir seluruh sektor. Dalam lanskap baru ini, computational thinking menjadi kompetensi strategis yang tidak hanya membentuk kemampuan problem-solving, tetapi juga menyiapkan generasi muda agar mampu berkembang di masa depan yang digerakkan oleh algoritma. Di sinilah pendidikan modern dituntut tidak hanya “mengajarkan teknologi”, tetapi “mengajarkan cara berpikir” yang selaras dengan era digital.
Computational thinking (CT) memberikan kerangka berpikir sistematis dalam menghadapi masalah kompleks. Keterampilan seperti dekomposisi, abstraksi, pola, dan perancangan algoritma membuat peserta didik mampu memahami persoalan dengan perspektif yang lebih terstruktur. Saat AI semakin mudah diakses, CT menjadi fondasi agar siswa tidak hanya menjadi pengguna pasif, tetapi pengendali teknologi. Keterampilan ini menumbuhkan disiplin logis yang sangat dibutuhkan di lingkungan kerja modern.
Perkembangan AI generatif menambah urgensi pentingnya CT. Dengan kemampuan AI menghasilkan teks, kode, solusi, dan analisis secara otomatis, peran manusia bergeser dari “melakukan pekerjaan teknis” menjadi memvalidasi, mengarahkan, dan mengoptimalkan proses yang dibantu teknologi. Peserta didik yang memiliki computational thinking akan lebih mudah mengidentifikasi bias AI, memahami cara kerja model, serta mengambil keputusan berbasis data dengan lebih bijak.
Dalam konteks pembelajaran, computational thinking membuka peluang untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih aktif, kolaboratif, dan mendalam. Guru dapat merancang proyek berbasis masalah yang mensimulasikan situasi nyata, sehingga siswa belajar menganalisis persoalan secara menyeluruh. Pendekatan seperti ini tidak hanya melatih kemampuan teknis, tetapi juga kreativitas dan empati dua aspek yang tetap menjadi keunggulan manusia dibandingkan mesin.
Integrasi AI dalam kelas memperkuat relevansi computational thinking. Berbagai aplikasi AI memungkinkan siswa bereksperimen, menguji, dan memodifikasi ide dengan cepat. Misalnya, siswa dapat memanfaatkan AI untuk memvisualisasikan konsep abstrak, menguji algoritma sederhana, atau mengevaluasi hasil eksperimen digital. AI tidak menggantikan guru, tetapi memperkuat perannya sebagai fasilitator pembelajaran yang lebih adaptif dan personal.
Di tingkat institusi pendidikan, CT dapat menjadi fondasi pembangunan kurikulum yang berorientasi masa depan. Sekolah maupun perguruan tinggi yang memasukkan computational thinking sebagai kompetensi inti akan lebih siap menghasilkan lulusan berdaya saing tinggi. Integrasi CT juga memberikan arah strategis bagi pengembangan teknologi pendidikan yang lebih selaras dengan kebutuhan industri dan pasar kerja.
Dunia industri kini mencari talenta yang tidak hanya menguasai teknologi, tetapi mampu memecahkan masalah secara inovatif dan strategis. Computational thinking menjadi jembatan antara dunia belajar dan dunia kerja. Perusahaan termasuk yang bergerak dalam sektor non-teknologi semakin menginginkan pekerja yang mampu menafsirkan data, memahami sistem, dan membuat keputusan berbasis logika. Inilah alasan mengapa CT menjadi nilai tambah bagi setiap lulusan di era AI.
Pada akhirnya, masa depan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh seberapa cepat kita mengadopsi teknologi, tetapi seberapa baik kita mempersiapkan peserta didik untuk memahami cara teknologi bekerja. Computational thinking adalah kompas penting yang menuntun generasi hari ini untuk menjadi pemimpin masa depan mereka yang tidak takut pada AI, tetapi mampu bermitra dengannya secara cerdas dan strategis. Pendidikan yang membangun CT bukan hanya melahirkan pengguna teknologi, tetapi pencipta solusi yang mampu menjawab tantangan global.
Penulis: Alifa
Gambar: Freepik