fip.unesa.ac.id, SURABAYA––Semangat mewujudkan pendidikan inklusif terus digaungkan di berbagai ruang diskusi, kampus pendidikan, hingga forum kebijakan nasional. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi kenyataan pahit: akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus masih belum setara, mahal, dan belum sepenuhnya didukung sistem yang siap.
Meski regulasi sudah ada, mulai dari Permendikbud No. 70 Tahun 2009 hingga kebijakan Merdeka Belajar, praktik inklusi di sekolah masih berjalan dalam ketimpangan. Sekolah inklusi dan SLB jumlahnya memang meningkat, tetapi kebutuhan fasilitas, pendamping, serta pembiayaan pendidikan masih menjadi kendala utama.
“Masalah terbesar pendidikan inklusi hari ini bukan sekadar penerimaan siswa berkebutuhan khusus, tetapi bagaimana sistem siap mendukung mereka dengan fasilitas dan sumber daya yang layak,” ujar Titania Salma, mahasiswa Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang menaruh perhatian besar pada isu kesetaraan akses pendidikan.
Tidak sedikit orang tua peserta didik berkebutuhan khusus mengeluhkan biaya pendampingan yang tinggi, terapi yang berkelanjutan, hingga kebutuhan alat bantu yang belum sepenuhnya difasilitasi negara. Bahkan sekolah negeri yang berstatus inklusi pun belum semuanya memiliki tenaga pendamping khusus (GPK) dan guru yang terlatih dalam diferensiasi pembelajaran.
Titan menambahkan bahwa persoalan ini bukan sekadar administratif atau teknis, tetapi juga menyangkut cara pandang masyarakat. Masih ada stigma bahwa pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus hanya sebatas kebaikan hati, bukan hak. “Selama pendidikan inklusi dipandang sebagai upaya ‘bonus’ atau ‘toleransi’, maka kesetaraan tidak akan benar-benar tercapai. Pendidikan inklusi adalah hak, bukan belas kasihan,” tegasnya.
Selain minimnya guru kompeten di bidang inklusi, tantangan lain muncul pada aspek kurikulum dan evaluasi pembelajaran. Guru kerap merasa kewalahan karena sistem penilaian masih seragam, sementara kebutuhan belajar setiap anak berbeda. Banyak guru mengaku bekerja ekstra tanpa dukungan pelatihan berkelanjutan maupun penghargaan yang sesuai.
Meski tantangan tersebut masih besar, optimisme tetap tumbuh. Kesadaran masyarakat mulai meningkat, mahasiswa calon pendidik banyak yang mempelajari pendekatan pedagodik inklusif, dan sekolah mulai membuka ruang dialog untuk praktik yang lebih baik. Pendidikan inklusi terus diperjuangkan bukan karena mudah, tetapi karena setiap anak layak mendapatkan masa depan.
Titan menutup pandangannya dengan harapan sederhana namun kuat: “Kita tidak boleh berhenti hanya karena sulit. Jika pendidikan benar-benar untuk semua, maka setiap sekolah, pemerintah, dan masyarakat harus bergerak bersama. Tidak ada anak yang boleh tertinggal.”
Dokumentasi: Pinterest