fip.unesa.ac.id, SURABAYA—Di balik setiap anak yang tengah berjuang menempuh pendidikan tinggi, ada sosok ayah yang diam-diam menjadi sandaran tanpa banyak bicara. Ia tidak selalu hadir dalam bentuk nasihat panjang, melainkan lewat perhatian kecil, kerja keras yang tak terlihat, dan doa yang tak pernah putus.
Hubungan antara ayah dan anak sering kali sederhana. Tak selalu ada percakapan panjang setiap hari, cukup pesan singkat menanyakan kabar atau sekadar, “udah makan belum?” Dari hal sepele seperti itu, kasih sayang seorang ayah menemukan bentuknya—hangat, tapi tidak berlebihan; jauh, tapi tak pernah benar-benar pergi.
Bagi seorang ayah, dukungan terhadap pendidikan anak tidak selalu diukur dari seberapa banyak bantuan yang bisa diberikan. Ia bekerja keras agar kebutuhan anak terpenuhi, sambil terus mengingatkan agar semangat belajar tak padam. “Yang penting kamu sungguh-sungguh, nanti hasilnya bakal kelihatan,” begitu pesannya yang sederhana tapi mengandung makna besar.
Momen yang paling berkesan baginya adalah ketika mengantar sang anak memasuki lingkungan kampus untuk pertama kalinya. Melihat anaknya mengenakan jaket almamater menjadi momen yang membekas—rasa bangga, haru, dan sadar bahwa anaknya mulai belajar menapaki dunia yang lebih luas dengan langkah sendiri.
Sejak awal, ia menanamkan nilai-nilai hidup yang ia pegang teguh: jangan sombong, jangan mudah menyerah, dan tetap rendah hati. Bagi sang ayah, ilmu memang penting, tapi karakterlah yang menentukan arah hidup seseorang. Prinsip itu pula yang ia jadikan pegangan dalam mendampingi anak di era yang serba cepat dan penuh perubahan.
Di tengah kemajuan zaman, ia menyadari bahwa menjadi orang tua kini menuntut kemampuan beradaptasi. Anak-anak tumbuh di dunia digital yang dinamis, dan orang tua harus belajar menyesuaikan diri agar tetap bisa memahami tanpa membatasi. “Sekarang malah sering Bapak yang belajar dari anak,” katanya ringan. Ia memilih menjadi sosok yang mendengarkan, bukan mengatur; membimbing tanpa mengekang.
Peran ayah, baginya, bukan sekadar memberi nasihat, melainkan menjadi teladan dalam diam. Ia percaya anak belajar lebih banyak dari apa yang ia lihat—dari kerja keras, kejujuran, dan tanggung jawab yang ditunjukkan setiap hari.
Saat ditanya tentang makna Hari Ayah, ia menjawab dengan sederhana, “Buat Bapak, nggak perlu dirayakan. Cukup kalau anak inget dan bilang makasih, itu udah bikin hati hangat.” Dan ketika diminta menyampaikan pesan untuk anaknya, suaranya menurun pelan, tapi penuh ketulusan: “Bapak nggak selalu bisa kasih banyak, tapi Bapak selalu berdoa semoga kamu jadi orang yang baik dan bahagia. Itu aja udah cukup.”
Hari Ayah mungkin hanya satu tanggal dalam setahun, tapi bagi banyak anak, ia adalah setiap hari—saat mereka melangkah dengan keyakinan bahwa di rumah, ada seorang ayah yang selalu percaya pada mereka, meski tanpa banyak kata.
Penulis: Nelly Najwa (PGSD)
Dokumentasi: Pinterest