fip.unesa.ac.id, SURABAYA––Film Solata menjadi salah satu karya terbaru yang menyedot perhatian publik karena keberaniannya mengangkat isu pendidikan di pedalaman Indonesia. Berlatar di wilayah Tana Toraja, kisah ini menghadirkan perjalanan emosional Angkasa, seorang pemuda Jakarta yang memutuskan menjadi relawan guru setelah mengalami fase kehilangan dalam hidupnya. Keputusan itu membawanya ke desa pegunungan Ollon, sebuah tempat yang jauh dari kebisingan kota dan teknologi, tetapi dekat dengan keheningan, kesederhanaan, serta harapan.
Dengan cara pengisahan yang hangat, Solata menggambarkan proses Angkasa membangun hubungan dengan enam murid yang ia temui: Karno, Harto, Mega, Bambang, Wahid, dan Habi. Nama mereka terasa simbolis, seakan memberi pesan bahwa generasi penerus bangsa tidak hanya belajar membaca dan berhitung, tetapi juga belajar memaknai identitas serta tanggung jawab.
Di sekolah yang hanya berdinding kayu, tanpa akses internet dan perangkat digital, pembelajaran berlangsung secara sederhana. Namun justru dalam keterbatasan itu, film ini menyoroti esensi pendidikan: membangun karakter, menumbuhkan rasa ingin tahu, dan menanamkan nilai kemanusiaan. Murid-murid Angkasa digambarkan tidak mudah, penuh tantangan, dan memiliki latar belakang yang berbeda-beda, sehingga menunjukkan bahwa proses belajar tidak pernah seragam dan membutuhkan pendekatan yang adaptif.
Selain mengangkat kisah guru dan murid, Solata berhasil merekam keindahan budaya Toraja sebagai elemen penting dalam pembelajaran itu sendiri. Alam, tradisi, serta cara hidup masyarakat menjadi ruang belajar yang tak tergantikan, mengingatkan bahwa pendidikan tidak hanya berlangsung di ruang kelas, melainkan juga melalui lingkungan dan komunitas.
Film ini juga membuka diskusi lebih luas tentang kesenjangan pendidikan di Indonesia, terutama terkait akses guru dan fasilitas di daerah terpencil. Pesan sosial itu diperkuat dengan dialog, interaksi, serta simbol-simbol sederhana yang membangun kesadaran bahwa masih ada banyak ruang untuk diperjuangkan dalam pemerataan pendidikan.
Secara artistik, Solata menawarkan pengambilan gambar visual yang kuat dengan lanskap alam Toraja sebagai latar yang memukau. Alur cerita yang berjalan perlahan memberikan ruang bagi penonton untuk merasakan keheningan, perjuangan, dan kejujuran tiap karakter. Namun, gaya penceritaan yang penuh kontemplasi mungkin terasa lambat bagi sebagian penonton yang lebih menyukai narasi cepat dan dinamis.
Meski demikian, pesan yang dibawa film ini terasa relevan, terutama bagi pendidik, mahasiswa pendidikan, relawan, dan siapa pun yang percaya bahwa pendidikan adalah fondasi perubahan sosial. Solata mengingatkan bahwa profesi guru bukan sekadar mengajar kurikulum, melainkan mendampingi manusia tumbuh dengan empati dan kesadaran.
Pada akhirnya, film ini bukan hanya tentang mengajar di daerah terpencil; tetapi tentang perjalanan seorang manusia menemukan kembali dirinya melalui orang lain. Persahabatan, harapan, dan proses saling belajar menjadi inti dari kisah ini, sebagaimana makna kata “Solata” itu sendiri: teman.
Film ini bukan sekadar hiburan, tetapi ruang refleksi tentang pendidikan, tentang Indonesia, dan tentang kemanusiaan.
Dokumentasi: Pinterest