Debu di Sepatu Tua, Harapan di Mata Risa

fip.unesa.ac.id – Lulus SMA dengan prestasi yang membanggakan, Risa menyimpan nyala harapan sederhana untuk bisa menggapai bangku kuliah di universitas negeri dan kelak berdiri di depan kelas sebagai guru. Namun, keyakinan dan semangatnya seketika meredup saat impian itu ia sampaikan kepada sang ayah, seorang pekerja bangunan dengan penghasilan pas-pasan. 

“Yah, aku berniat untuk melanjutkan pendidikanku di bangku kuliah”  Ucap Risa. 

Mendengar hal tersebut Ayahnya yang baru saja pulang bekerja, langsung menatap Risa dengan tatapan yang tidak biasa. 

Alih-alih mendapat dukungan penuh, Dina hanya menerima senyum tipis dan gumaman lirih, “Kalau memang bisa, ya Ayah dukung.” Kalimat sederhana itu menyimpan banyak makna beban realitas yang berat, menepis impian seorang gadis dengan keterbatasan ekonomi keluarga dan memicu banyak pertanyaan besar.

Ayahnya langsung berdiri meninggalkan Risa di ruang tamu, gadis itu hanya terdiam mendengar pernyataan dari ayahnya. Namun, dari lubuk hatinya ia tidak ingin berhenti mengejar impiannya menjadi seorang guru.

Mengejar keterbatasannnya, rutinitas Risa kini terangkai dalam kesederhanaan yang padat. Segala cara ia usahakan dari mulai mengikuti les-les gratis demi memantapkan persiapan ujian masuk perguruan tinggi, berjam-jam ia kuat bergelut dengan buku pelajaran, sebagai bentuk upaya kerja keras yang ia jalani, sembari membantu ibunya menyiapkan dagangan yang hendak dijajarkan di sudut jalan tiap sore. Di tengah kesibukannya berusaha meraih mimpi, ia menyadari bahwa ada perubahan yang terjadi pada ayahnya. Ia sering melihat ayahnya makin jarang pulang, katanya lembur terus. Tapi yang tak ia sadari, ayahnya diam-diam bekerja lebih keras, mengumpulkan setiap receh yang bisa disisihkan. 

Di hari pengumuman kelulusan seleksi kampus, Risa dinyatakan lolos. ia menangis bahagia karena usaha dan upayanya terbalaskan. Namun begitu, ia langsung segera ingat dengan realitanya. Daftar ulang. Kata itu berputar terus di kepalanya, menepis suasana bahagia yang baru saja menghangatkan hatinya. Ia sangat tahu betul, bahwa biaya pendidikan di perguruan tinggi itu lumayan besar, meskipun terjangkau dari pada swasta, hal tersebut tetaplah menjadi angka yang besar di keluarganya. Mengingat uang hasil berjualan gorengan ibunya dan upah ayahnya bekerja mana cukup untuk memenuhi kebutuhan nantinya. 

Pada malam hari, ia memberikan kabar baik ini kepada ayah dan ibunya, namun tidak disambut dengan baik oleh ayahnya, ia hanya terdiam lalu berdiri dan masuk kekamarnya tanpa berkata sepatah kata apapun.

Pada suatu hari, ayahnya pulang lebih awal dari biasanya, hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagi Risa, tidak hanya itu disudut matanya ia melihat kotak berwarna hitam yang diletakkan dimeja. Alih-alih menatapnya Risa berjalan perlahan menuju meja dan membuka kotak tersebut.

“Loh, ini..” ucap Risa.

Di dalam kotak tersebut terdapat sepatu yang terbungkus rapih oleh kertas koran yang usang, tidak hanya itu. terdapat seikat uang tunai yang dibungkus koran. ketika terdiam menatapi sepatu tersebut. ayahnya menghampiri Risa.

“Ayah jual motor, kita bisa cari cara ke kampus nanti. yang penting kamu berangkat, Ris.” ucap ayahnya yang baru keluar dari kamarnya. 

Mendengar hal tersebut Risa menahan air matanya, ia tidak tahu. ternyata dalam diam. Ayahnya berusaha mencari cara agar ia bisa kuliah. Menyaksikan jerih payah orang tuanya yang begitu besar demi mewujudkan cita-citanya, Risa merasa menjadi beban. Ia pun bertekad untuk segera meraih impiannya, sebagai cara untuk membanggakan dan membalas budi atas segala pengorbanan mereka.

Penulis : Khesya Dyanza (TP), Dyah Ayu Hardiyanti (TP)

Sampul: Pintrest