ChatGPT dan Revolusi Pembelajaran TI: Menuju Keterampilan Baru atau Hilangnya Kompetensi?

fip.unesa.ac.id – Perkembangan ChatGPT dan berbagai teknologi AI generatif telah mengguncang dunia pendidikan teknologi informasi lebih cepat dari yang bisa kita bayangkan. Dalam hitungan bulan, cara mahasiswa mempelajari coding, menganalisis data, hingga membangun solusi digital mengalami perubahan radikal. Pertanyaannya kini bukan lagi “apakah AI akan memengaruhi pendidikan TI”, tetapi “apakah kita siap menghadapi gelombang perubahan yang sedang terjadi?”. Ketika teknologi mampu menulis kode, menjelaskan algoritma, dan memberikan solusi instan, dunia pendidikan harus segera menentukan posisi: apakah kompetensi lama masih relevan, atau kita membutuhkan paradigma baru?

ChatGPT telah mendorong transformasi fundamental dalam cara mahasiswa mempelajari konsep komputasi. Kegiatan yang dulu memerlukan waktu berjam-jam seperti debugging, memahami struktur data, atau mempelajari framework kini dapat dilakukan dalam hitungan detik. Di satu sisi, hal ini mempercepat proses belajar. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa mahasiswa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan pemahaman mendalam yang hanya bisa diperoleh melalui proses eksplorasi manual. Inilah dilema pendidikan TI di era AI generatif.

Kalangan industri melihat fenomena ini sebagai peluang besar. Perusahaan teknologi ingin talenta yang mampu bekerja cepat, efisien, dan memahami bagaimana mengintegrasikan AI dalam alur kerja mereka. Kompetensi yang paling dicari bukan lagi kemampuan menulis kode secara manual, tetapi kemampuan berpikir sistematis, memvalidasi output AI, memahami logika di balik algoritma, dan menerjemahkan masalah kompleks ke dalam solusi berbasis mesin. Dengan kata lain, fokus pendidikan harus bergeser dari sekadar “mengetik kode” ke “memimpin proses komputasi”.

Dalam konteks ini, perguruan tinggi menghadapi urgensi untuk memperbarui kurikulum. Mata kuliah pemrograman dasar tetap penting, namun pengajarannya tidak bisa lagi sama seperti satu dekade lalu. Mahasiswa perlu dibekali pemahaman tentang prompt engineering, evaluasi model AI, risiko bias algoritmik, keamanan data, serta integritas akademik di era AI. Tanpa pembaruan ini, pendidikan TI berisiko tertinggal jauh dari kebutuhan industri yang bergerak dua kali lebih cepat.

Muncul juga kekhawatiran bahwa penggunaan ChatGPT dapat mengikis kompetensi dasar mahasiswa. Namun, sejarah teknologi menunjukkan bahwa keterampilan manusia berkembang seiring dengan kemajuan alat. Kalkulator tidak menghapus kemampuan matematika, tetapi mendorong fokus pada pemahaman konsep. Begitu pula AI dalam dunia pemrograman: yang hilang bukanlah kompetensi inti, tetapi pekerjaan repetitif yang selama ini menghambat kreativitas dan inovasi. Perguruan tinggi perlu mengarahkan mahasiswa agar menguasai konsep fundamental sambil memaksimalkan teknologi sebagai alat penguat belajar.

Di lapangan, pendidik memainkan peran yang semakin strategis. Guru dan dosen harus menjadi navigator digital yang membantu mahasiswa memahami kapan harus menggunakan AI, kapan harus berpikir mandiri, dan bagaimana menyeimbangkan keduanya. Kemampuan ini tidak hanya membangun integritas akademik, tetapi juga membentuk profesional yang mampu mengambil keputusan kritis di tengah otomatisasi yang semakin luas. Pendidikan TI di masa depan membutuhkan pendidik yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi adaptif, kreatif, dan visioner.

Selain itu, universitas perlu memperkuat budaya inovasi. Membangun laboratorium AI, membuka peluang kolaborasi dengan industri, serta menciptakan ruang eksperimen digital akan menjadi faktor pembeda bagi institusi yang ingin memimpin perubahan. Mahasiswa harus diberi kesempatan mengembangkan proyek yang memadukan kemampuan teknis dengan kreativitas berbasis AI generatif. Dari sini lahir keterampilan baru: kemampuan memimpin solusi digital, bukan sekadar menjalankan instruksi teknis.

Pada akhirnya, revolusi yang dibawa oleh ChatGPT bukan tentang hilangnya kompetensi, melainkan pergeseran kompetensi. Dunia kerja membutuhkan talenta yang menguasai pemikiran kritis, pemahaman mendalam tentang sistem, kemampuan kolaborasi dengan AI, serta etika digital yang kuat. Pendidikan TI harus memastikan mahasiswa tidak hanya mampu mengikuti perubahan, tetapi memimpinnya. Bila dikelola dengan visi jangka panjang, AI bukan ancaman; ia adalah katalis yang mempercepat lahirnya generasi profesional teknologi yang lebih cerdas, adaptif, dan kompetitif.

Penulis: Alifa

Gambar: Freepik