Teduh di Bawah Atap Rumah

Mataku terjaga ketika sinar matahari masuk melalui sisi jendela yang tertutup sebagian dengan kain di tembok kamarku. Tak lama aku langsung menoleh ke arah kalender kecil yang berada di atas meja sisi kiri tubuhku. Aku tersadar, angka-angka di kalender semakin bertambah seiring dengan rutinitas keseharianku.

Segera aku bersiap untuk memulai hari, seperti biasanya diiringi dengan lantunan perut yang sudah menahan lapar sejak malam tadi. Dering telepon menghentikan aktivitasku, aku langsung berkata,  “ Iya di jalan, tunggu aja di sana.” Aku pun bergegas menyalakan mesin motor dan berangkat dengan terburu-buru.

Setiap hari kulalui dengan ritme aktivitas yang berulang, kuliah, kegiatan UKM dengan berbagai macam lika-likunya, dan waktu luang yang kupakai untuk menambah uang saku selama kuliah. Lelah, itu kata yang tepat untuk menggambarkanku. Tapi terlalu jahat rasanya bila aku menyerah akan semua ini, sedangkan ada senyum tulus yang setia menantiku di rumah.

Waktu berlalu begitu cepat, berganti dari terang menjadi gelap. Rutinitas setiap malam yang kulakukan adalah menelepon orang tuaku. Setiap hari mereka tak akan lupa meneleponku, sesibuk apapun mereka, pasti akan menyempatkan menanyakan kabarku. “Gimana nak hari ini?”, tanya ayahku dibalik suara telepon genggam itu. “Seperti biasa Pak, selalu baik”, jawabku dengan penuh keyakinan. Jawaban yang kukatakan selalu sama setiap ayah atau ibuku bertanya, hal itu semata untuk membuat mereka tenang dengan kondisiku yang jauh dari rumah.

Setelah telepon berakhir, aku merebahkan tubuh ke tempat tidurku. Sambil menatap langit-langit kamar aku menghela napas panjang. Rasanya berdosa sekali aku hampir setiap hari selalu berbohong kepada orang tuaku tentang kondisiku. Tapi tak ada pilihan lain, ini salah satu usahaku untuk membuat mereka percaya kalau aku baik-baik saja di perantauan. Namun tak bisa dipungkiri, aku lelah saat ini. Untuk membayangkan hari besok saja rasanya aku capek, kuliah sampai sore dan harus dilanjut dengan mengambil orderan ojek online. Aku terus menatap langit-langit kamar yang polos, kuiisi dengan bayangan skenarioku besok. Tak lama mataku terpejam dan melupakan semuanya.

————–

Jarum jam menunjukkan pukul empat sore, perkuliahan pun diakhir dengan kalimat motivasi dan salam dari dosen yang mengajar kami saat itu. Aku pun bergegas keluar menuju parkiran dan segera menyalakan mesin motorku. Masih berada di atas motor, aku tidak lupa untuk mengaktifkan akun pada aplikasi ojek online yang sudah lama menemaniku selama disini.

“Ting”

Notif pesanan diterima pun berbunyi, aku segera menarik gas motorku menuju lokasi tempat customer ku berada. Aku sangat menikmati perjalanku, sungguh. Rasa syukur itu masih ada, Tuhan masih begitu baik karena memberikan anak penuh dosa ini menikmati jalanan yang ramainya tak pernah usai.

“Atas nama kak Seli ya?” Tanyaku sembari memberikan helm kepadanya.

Perjalanan aku tempuh selama 15 menit menuju tempat tujuan dari kak Seli, customerku. Tidak banyak perbincangan yang terjadi selama di atas motor karena aku tau rasa lelah itu tidak datang hanya padaku, tetapi juga pada orang-orang pejuang rupiah di gedung tinggi itu.

“Terima kasih, Mas,” ucapnya dengan senyum.

Ku lanjutkan perjalananku menuju tempat kedua, kembali kunikmati udara yang aku rasa sangat sejuk kala itu. Gemuruh mulai terdengar, aku rasa ini bukan hal yang baik.

“Tak”

Aku mengarahkan stang motorku ke salah satu ruko yang ada di sekitar, aku berteduh. Rintik hujan pun mulai membasahi bumi, angin kembali tertiup kencang.

“Aduh dibatalin, gapapa deh lagian hujan kasian kakaknya,” ucapku menenangkan hati.

Aku mengarahkan pandanganku dari ponsel ke cafe sebrang ruko yang menjadi tempat aku berteduh. Dari tempat aku berdiri sekarang, aku bisa melihat banyaknya anak seusiaku sedang menikmati secangkir kopi mereka yang bisa aku tebak harganya bisa mencukupi makanku selama dua hari penuh.

Banyak pertanyaan yang muncul dalam benakku, sungguh.

“Senikmat apa ya rasanya menjalani hidup yang aku tidak perlu khawatir tentang apa yang akan aku makan esok hari?”

Atau

“Mengapa harus aku yang merasakan hal yang melelahkan seperti ini?”

Aku bersyukur memang, tapi bohong dan munafik rasanya kalau aku tidak ingin berada di posisi mereka. Rasanya ingin juga pulang kuliah hanya dilanjutkan dengan menikmati kopi dan disanding dengan canda tawa yang aku rindukan itu.

“drtt drrrtt”

Ku lihat ponsel yang berada di genggamanku, seperti hari-hari sebelumnya ayahku akan selalu senantiasa untuk menanyakan kabarku. Kali ini sunggu, boleh kah aku sekali saja menumpahkan apa yang ada di kepala ku selama ini? Sekali saja, aku janji.

“Hallo nak, gimana hari ini?”

Bibirku membisu, rasanya tenggorokan ku tercekat, ini kali pertama aku merasa seabu ini, runtuh aku, diamku lama. Ayah, capek yah. Ucapku dalam hati.

“Nak? Kamu dengar ayah? Kok diam saja, tumben sekali”

“Ayah… aku capek yah,” akhirnya, akhirnya kalimat yang dari dulu ingin aku ucapkan bisa aku keluarkan, akhirnya aku membiarkan ayahku tau apa yang aku rasakan selama ini.

“Nak? Apa ada yang mengganggu pikiran mu akhir-akhir ini?”

Ayah, terima kasih sudah mengeluarkan pertanyaan yang selama ini aku nantikan, terima kasih sudah memberikan kesempatan aku untuk akhirnya bisa mengeluarkan isi kepala yang berisiknya ampun-ampunan.

“Ayah, rasanya capek sekali yah, maaf kalau terdengar tidak tahu diri yah, maaf kalau rasa lelahnya ayah malah disambut dengan keluhan anak baru dewasa ini yah. Ayah, aku lagi ngerasa capek, aku merasa dunia terlalu terburu-buru dengan aku yang masih meraba-raba. Ayah maaf kalau kesannya ini akan menyakiti hatimu, tapi kenapa harus aku ayah yang ngerasain juang yang tak ada habisnya? Kok rasanya orang-orang seberuntung itu ya yah bisa nikmatin hidup tanpa harus berjuang sekeras aku. Maaf aku belum se keren itu untuk dibanggakan ayah.” Ungkapku.

“Nak? Anakku sayang, terima kasih sudah mau jujur sama ayah, terima kasih sudah mau berjuang sekeras itu, Nak. Ayah dan ibu selalu bangga dengan apa yang kamu sudah capai selama ini, kamu sehat sampai sekarang adalah wujud doa kami disin, Nak. Maafin ayahmu ini ya nak, keegoisan kami membuat kamu harus merasakan hal yang harusnya tidak kamu rasakan, maafin kami ya nak belum dapat memberikan yang terbaik di hidup kamu yang hanya sekali ini.”

“Pulang yuk nak, biarkan rasa lelahmu menemukan rumahnya, disini”

Pecah tangisku, ditemani langit gelap dan rintik hujan yang masih setia menemaniku malam ini. Terima kasih ayah, terima kasih untuk segala pengertian yang memelukku sampai hari ini, ayah, aku masih mau mengusahakan semuanya, semoga doamu masih senantiasa menyebut namaku ya ayah.

Tiga puluh satu hari pun berlalu..

Tiba saatnya waktuku untuk kembali melepas rindu dan semua resahku. Aku berangkat menuju bandara dengan perasaan bahagia. Aku mengabari Ayah dan Ibuku setiap saat.

Selang beberapa jam tibalah aku menapakkan kaki di tempat asalku. Udara terasa segar dan cuaca cerah seperti berpihak kepadaku. Dengan menenteng satu tas yang berisi oleh-oleh untuk orang tuaku, segera aku memesan ojek online dan menuju perjalanan pulang dengan disuguhi pemandangan sawah hijau yang membentang begitu panjang.

Tibalah aku di sebuah rumah kecil yang didepannya berisi beberapa tanaman hias dan sebuah pohon mangga yang terlihat asri.

Aku menapakkan kaki masuk ke halaman rumah dan mengetukkan kepalan tangan ke pintu.

“Tok, tok, tok”, ku ketuk pintu sebanyak tiga kali.

Pintu terbuka dengan perlahan bersama dengan dua orang dengan senyum tulus dibaliknya berdiri menantiku.

“Anakku!”, seru Ayah dan Ibuku

Pelukan hangat nan erat langsung menyambut tubuhku. Rasanya benar-benar lega setelah semua yang kulalui selama dua tahun ini. Tak sadar air mata menetes di pipi kami. Suara tangis haru lirih terdengar dari Ibuku.

Terima kasih telah menciptakan rumah yang didalamnya aku bisa merasakan kenyamanan dan kehangatan tiada tara. Dan saat itu, aku menyadari bahwa seberapa jauh jarak kita pergi, rumah akan selalu menjadi tempatku kembali, tempat yang bisa memeluk rasa penat ini dan memberikan kedamaian dalam hati.

Penulis: Cindy Aulia Gultom (PLB), Tita Rahmawati (PLB)

Foto : Freepik