fip.unesa.ac.id, SURABAYA––Isu mengenai tuntutan masyarakat terhadap sekolah dan guru kembali menjadi pembahasan hangat di berbagai ruang diskusi pendidikan. Kritik publik terhadap sistem pendidikan sering kali berujung pada penyudutan guru dan sekolah, seolah seluruh keberhasilan atau kegagalan peserta didik menjadi tanggung jawab sepenuhnya institusi formal. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan besar: apakah dunia pendidikan memang sepenuhnya berada di pundak guru dan sekolah?
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan seharusnya dipahami sebagai kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial. Ketiganya memiliki peran yang saling melengkapi dalam membentuk karakter, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik. Namun, persepsi masyarakat yang masih menempatkan sekolah sebagai “satu-satunya penanggung jawab” membuat ruang gerak guru semakin kompleks.
Ivan Dwi, mahasiswa Bimbingan dan Konseling (BK), menyampaikan keresahannya mengenai fenomena ini. Menurutnya, narasi yang menyudutkan guru dan institusi pendidikan formal justru menghambat upaya perbaikan pendidikan secara menyeluruh.
“Banyak orang hanya melihat guru sebagai sosok yang harus tahu segalanya dan menyelesaikan semua masalah anak. Padahal, pendidikan itu tidak berhenti di ruang kelas. Ketika anak pulang ke rumah, pola asuh, lingkungan, dan dukungan orang tua juga menentukan. Kita tidak bisa lagi menyalahkan satu pihak dan berharap pendidikan berubah,” ungkapnya.
Ivan menegaskan bahwa guru sudah bekerja bukan hanya sebagai pendidik akademik, tetapi juga konselor, pengarah moral, komunikator, dan bahkan figur pengganti orang tua di sekolah. Namun, tugas berat tersebut belum selalu dibarengi dukungan struktural maupun sosial yang memadai.
Selain itu, perkembangan teknologi, perubahan sosial, serta tantangan moral generasi digital membuat guru menghadapi situasi pendidikan yang jauh berbeda dibanding satu atau dua dekade lalu. Beban administrasi yang tinggi, keterbatasan fasilitas, serta jumlah siswa yang besar juga menjadi tantangan yang belum seluruhnya teratasi.
Pakar pendidikan menilai bahwa solusi perbaikan pendidikan tidak dapat dilakukan dengan saling menyalahkan, melainkan dengan membangun kemitraan antara orang tua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat.
Tanggung jawab pendidikan merupakan proses yang saling terhubung: sekolah memberikan pembelajaran prinsipil, orang tua menguatkan nilai di rumah, dan lingkungan menyediakan ruang praktik kehidupan. Ketika semua bergerak bersama, pembelajaran akan menjadi lebih bermakna.
Dengan semakin kuatnya kesadaran akan tanggung jawab kolektif ini, harapannya wacana pendidikan tidak lagi dipenuhi kritik yang menekan satu pihak, tetapi menjadi ruang refleksi bersama dalam merawat generasi masa depan.
Karena pada akhirnya, seperti yang sering dikatakan para pendidik, “Mendidik seorang anak membutuhkan lebih dari sekadar ruang kelas, tetapi seluruh ekosistem yang mau ikut serta membimbing, mendukung, dan memberi teladan.”
Dokumentasi: Pinterest