fip.unesa.ac.id., SURABAYA—Film Sokola Rimba menyajikan sebuah narasi melalui penceritaan biografis. Karya ini merupakan sebuah kajian visual tentang persinggungan antara pendidikan, antropologi, dan isu-isu konservasi. Berlatar di lebatnya Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, film ini memotret perjalanan Saur Marlina Manurung, yang lebih dikenal sebagai Butet Manurung, dalam merintis pendidikan literasi bagi masyarakat adat Orang Rimba.
Kisah berpusat pada pendekatan pedagogis yang dilakukan Butet Manurung. Ia berupaya memperkenalkan kemampuan baca, tulis, dan hitung (calistung) kepada komunitas yang hidup secara semi-nomaden dan memiliki sistem pengetahuan yang sangat terikat dengan alam. Inisiatifnya menghadirkan sebuah diskursus penting mengenai model pendidikan alternatif yang relevan bagi komunitas adat, yang seringkali tidak terjangkau oleh sistem pendidikan formal.
Sokola Rimba mengangkat sebuah ironi sosio-ekologis. Masyarakat Orang Rimba, yang secara turun-temurun berperan sebagai penjaga kelestarian ekosistem hutan, justru berada dalam posisi rentan akibat tekanan eksternal seperti deforestasi. Film ini secara efektif menggambarkan bagaimana kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan alam berhadapan dengan paradigma pembangunan modern. Pengalaman Butet menjadi sebuah lensa untuk memahami dinamika pengetahuan yang terjadi di ruang-ruang marjinal tersebut.
Dari perspektif sinematik, Sokola Rimba berfungsi sebagai dokumentasi etnografis yang bernilai. Pengambilan gambar yang otentik dan penceritaan yang mengalir membawa audiens untuk turut merasakan dilema yang dihadapi para tokohnya, baik dari sisi sang pendidik maupun komunitas yang didampinginya. Film ini tidak menyederhanakan masalah, melainkan menyajikannya sebagai sebuah fenomena multidimensional yang memerlukan pemahaman mendalam.
Pada akhirnya, Sokola Rimba menjadi pemantik diskusi akademis yang relevan bagi berbagai disiplin ilmu, mulai dari Ilmu Pendidikan, Antropologi, Sosiologi, hingga Studi Lingkungan. Film ini mengajak sivitas akademika untuk merefleksikan kembali peran pendidikan dalam pemberdayaan, pentingnya menghargai sistem pengetahuan adat, serta urgensi mencari solusi harmonis antara upaya konservasi dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
Penulis: Dede Rahayu Adiningtyas (PGSD)
Dokumentasi: Ekspresionline.com