fip.unesa.ac.id, SURABAYA—Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menggelar Webinar Internasional bertajuk “Utilizing AI in Learning: Enhancing Engagement, Personalization, and Efficiency” sebagai bagian dari peringatan Bulan Pendidikan. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh mahasiswa PGSD UNESA melalui Zoom dan siaran langsung di YouTube pada Rabu, 14 Mei 2025.
Webinar ini menghadirkan tiga narasumber lintas negara, yaitu Dr. Donne Jone Panizales Sodusta (University of The Philippines Visayas), Meilisa Ariyanto, M.Pd. (Institut Teknologi Sepuluh Nopember), dan Charyna Ayu, Ph.D. (Universitas Islam Internasional Indonesia). Ketiganya membahas peluang dan tantangan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam pendidikan dari berbagai perspektif—teknis, pedagogis, hingga etis.
Koordinator Prodi PGSD UNESA, Putri Rachmadyanti, S.Pd., M.Pd., membuka acara dengan menekankan pentingnya kesiapan calon guru dalam menghadapi perkembangan teknologi. “Webinar ini menjadi medium reflektif sekaligus inspiratif bagi mahasiswa agar siap bersinergi dengan teknologi dalam praktik pendidikan dasar. Mereka perlu memahami tidak hanya potensi, tetapi juga risiko penggunaan AI di ruang kelas,” ujarnya.
Senada dengan itu, Prof. Dr. Budi Purwoko, S.Pd., M.Pd., dalam sambutannya menegaskan bahwa AI bukan lagi sekadar konsep masa depan, melainkan sudah menjadi bagian dari realitas pendidikan saat ini. “Kita harus menguasai AI lebih baik daripada AI itu sendiri. Teknologi bisa menjadi jembatan untuk mengurangi kesenjangan pendidikan—tentu dengan syarat adanya karakter pendidik yang adaptif dan inklusif,” tegasnya.
Dalam sesi pemaparan, Meilisa Ariyanto, M.Pd., menggarisbawahi pentingnya literasi AI di tengah era kompetisi keterampilan. Menurutnya, AI bukanlah ancaman, melainkan alat bantu yang memperkuat proses pembelajaran. “Kalian tidak hanya akan bersaing dengan teman seangkatan, tapi juga dengan dunia yang menuntut orisinalitas dan solusi konkret. AI seharusnya mendukung kreativitas, bukan menggantikan,” jelasnya.
Sementara itu, Charyna Ayu, Ph.D., menawarkan perspektif kritis dengan membahas konsep computational empathy, yaitu kemampuan AI mengenali emosi melalui data wajah, suara, atau teks. Namun, ia menegaskan bahwa empati sejati tidak bisa diprogram. “Empati bukan sekadar mengenali emosi, tapi merasakannya. Dan itu hanya bisa dilakukan manusia,” ujarnya. Ia juga mengingatkan bahwa ketergantungan berlebihan pada AI dapat mengikis relasi personal antara guru dan murid. “Pendidikan memang butuh teknologi, tapi lebih butuh kehadiran guru yang benar-benar peduli,” tambahnya.
Dr. Donne Jone Panizales Sodusta menyampaikan hasil pengamatannya terkait pola penggunaan AI oleh mahasiswa. Ia menemukan bahwa mayoritas mahasiswa tidak menggunakan AI untuk menjawab tugas secara langsung, melainkan sebagai alat bantu untuk menyempurnakan tulisan, seperti memperbaiki struktur kalimat dan kutipan melalui platform Grammarly atau Scribbr. “Ini bentuk penggunaan AI tidak langsung—lebih reflektif dan etis,” jelasnya.
Ia juga mencatat bahwa mahasiswa cenderung menyarikan ide dari berbagai sumber akademik, lalu menyusunnya kembali dengan gaya bahasa mereka sendiri. “Mereka ingin mempertahankan keaslian. Bukan sekadar benar, tapi juga bisa dipertanggungjawabkan,” katanya. Ia menekankan pentingnya membedakan antara penggunaan langsung—seperti meminta AI menulis atau meringkas—dan penggunaan tidak langsung yang justru mendorong proses berpikir. “Dengan pendampingan yang tepat, mahasiswa bisa menjadi pengguna AI yang bijak dan berintegritas,” pungkasnya.
Penulis: Zahira Auliya Soekandar (PGSD)