Niti Kaweruh: Belajar dari Tengger sebagai Spirit Pendidik FIP UNESA dalam Mewujudkan Pemerataan Pendidikan

fip.unesa.ac.id., Surabaya—Tak mudah rasanya menjadi guru di wilayah pegunungan, dengan jalan curam, sinyal terbatas, dan jumlah murid yang sedikit. Film dokumenter “Niti Kaweruh” memberi kita jawabannya. Film berdurasi sekitar 35 menit ini menyorot perjuangan masyarakat Tengger di Desa Sariwani 2, Kabupaten Probolinggo, dalam mempertahankan semangat belajar di tengah keterbatasan.

Diproduksi oleh INOVASI Pendidikan bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Probolinggo, Niti Kaweruh bukan sekadar tontonan, tetapi potret tentang bagaimana pendidikan tumbuh dari akar budaya dan gotong royong. Film ini memperlihatkan bahwa pendidikan di daerah terpencil bukan hanya tentang pembelajaran, tetapi juga tentang ketulusan, komitmen, dan rasa percaya bahwa semua anak berhak mendapat kesempatan belajar.

Salah satu hal menarik dari film ini adalah sistem kelas rangkap. Karena jumlah guru terbatas, satu guru mengajar dua tingkat kelas sekaligus. Dalam situasi sulit ini, para guru di lereng Bromo bertahan dan berjuang untuk terus berinovasi. Mereka menggabungkan kurikulum, waktu belajar, dan tetap memastikan setiap anak mendapat perhatian yang sama dalam sistem kelas rangkap.

Tak hanya guru, masyarakat Tengger juga punya peran penting. Film ini memperlihatkan bagaimana tokoh adat, orang tua, dan perangkat desa turut aktif mendorong anak-anak agar tetap sekolah, meski harus membantu orang tua di ladang atau mengikuti kegiatan adat. Pendidikan dan budaya bukan masalahnya, keduanya harus berjalan beriringan.

Melalui visual yang hangat dan narasi yang menyentuh, Niti Kaweruh menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau sekolah, tetapi seluruh lini masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong royong, kerja keras, dan rasa hormat menjadi pondasi penting dalam membangun sistem belajar yang berkelanjutan.

Film ini juga sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka, yang menekankan kebebasan berpikir, kreativitas, dan kearifan lokal. Apa yang dilakukan para guru di Probolinggo mencerminkan esensi sebenarnya dari pembelajaran berdiferensiasi yakni menyesuaikan proses belajar dengan kondisi dan kebutuhan siswa.

Sebagai calon pendidik, kita diajak belajar dari kisah nyata ini bahwa menjadi guru bukan hanya soal mengajar di ruang kelas, tetapi juga tentang keberanian untuk beradaptasi, berinovasi, dan terus menyalakan harapan siswa ataupun orang tua.

Penulis: Dede Rahayu Adiningtyas (PGSD)

Dokumentasi: Media Indonesia