Mewujudkan Lingkungan Pendidikan yang Aman dan Bebas dari Perundungan

fip.unesa.ac.id, SURABAYA – Bullying atau perundungan masih menjadi persoalan serius di dunia pendidikan. Meskipun berbagai kampanye anti-kekerasan telah gencar dilakukan, kasus perundungan di sekolah maupun kampus terus bermunculan dalam berbagai bentuk, mulai dari ejekan, pengucilan, hingga kekerasan fisik dan cyberbullying.

Fenomena ini menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan belum sepenuhnya aman dan ramah bagi semua peserta didik. Kurangnya empati, lemahnya pengawasan, serta budaya kompetitif yang berlebihan menjadi faktor utama maraknya perundungan di sekolah. Selain itu, rendahnya kepedulian terhadap kesehatan mental peserta didik turut memperburuk kondisi tersebut.

Di sisi lain, pendidikan di Indonesia masih cenderung berorientasi pada pencapaian akademik dibandingkan pembentukan karakter. Akibatnya, siswa kurang memiliki kemampuan dalam mengelola emosi, menghargai perbedaan, serta membangun hubungan sosial yang sehat. Kondisi ini membuat perilaku mengejek atau merendahkan orang lain sering dianggap hal biasa, padahal dapat menimbulkan luka psikologis yang mendalam bagi korban.

Perkembangan teknologi juga memperluas bentuk perundungan melalui dunia maya. Cyberbullying menjadi ancaman baru yang sulit diawasi karena terjadi di luar pantauan guru dan orang tua. Di platform media sosial, siswa dapat dengan mudah menyebarkan komentar negatif, foto, atau pesan yang merendahkan teman sebaya tanpa menyadari dampak jangka panjangnya.

Upaya menghapus perundungan tidak hanya menjadi tanggung jawab satu pihak, melainkan seluruh elemen pendidikan, mulai dari pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, hingga orang tua. Setiap pihak memiliki peran penting dalam membangun ekosistem pendidikan yang berlandaskan pada nilai kemanusiaan, saling menghormati, dan empati.

Perguruan tinggi, sebagai pusat pembentukan karakter calon pendidik, juga memiliki tanggung jawab besar untuk menanamkan nilai-nilai tersebut melalui kegiatan pembelajaran, pelatihan, dan pembinaan karakter. Melalui kolaborasi lintas sektor serta penguatan literasi sosial dan emosional, diharapkan lahir generasi pendidik yang mampu menjadi teladan dan agen perubahan dalam menciptakan sekolah yang bebas dari perundungan.

Dengan komitmen bersama, budaya saling menghargai dan kepedulian terhadap sesama dapat tumbuh kuat di lingkungan pendidikan. Sekolah dan kampus tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu, tetapi juga ruang aman bagi setiap individu untuk berkembang secara utuh, baik secara akademik maupun sosial-emosional.

Penulis: Lina Nur Laili (PLB)
Editor: Nelly Najwa (PGSD)
Dokumentasi: Pinterest