Menggali Potensi: Profil Berpikir Kritis Siswa SD Kelas 3 dalam Mengatasi Soal Cerita Perkalian

fip.unesa.ac.id – Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi (Higher Order Thinking Skills – HOTS) yang sangat esensial di abad ke-21. Sayangnya, hasil observasi menunjukkan bahwa di UPT SD Negeri 30 Gresik, masih banyak peserta didik kelas 3 (65%) yang belum mencapai Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP) dalam mata pelajaran matematika, dengan nilai di bawah 68. Masalah ini utamanya terlihat saat peserta didik kesulitan memahami maksud dari soal cerita perkalian dan mengubahnya menjadi model matematika, yang mengindikasikan rendahnya kemampuan berpikir kritis matematis mereka.

Tantangan Perkalian dan Peran Guru Konvensional

Materi perkalian dan pembagian seringkali dianggap membosankan dan sulit dipahami oleh peserta didik. Kesulitan ini diperburuk oleh pendekatan pembelajaran yang kurang variatif dan cenderung teacher-centered atau berpusat pada guru. Guru masih sering bertindak sebagai satu-satunya sumber informasi, dan peserta didik hanya mencatat tanpa didorong untuk berpikir kritis atau mengaitkan konsep matematika dengan kehidupan nyata. Akibatnya, kemampuan berpikir kritis peserta didik, yang merupakan kunci untuk menyelesaikan soal cerita dan menghadapi perubahan , menjadi tidak optimal, sejalan dengan skor PISA Indonesia yang menurun dan tidak mencapai target RPJMN 2024.

Fokus Penelitian: Mengidentifikasi Tiga Tingkat Kemampuan Kritis

Penelitian kualitatif ini secara spesifik bertujuan mengidentifikasi profil berpikir kritis peserta didik kelas 3 dalam menyelesaikan soal cerita perkalian, dibagi berdasarkan tiga tingkat kemampuan matematika: tinggi, sedang, dan rendah. Profil ini akan diukur menggunakan indikator berpikir kritis Facione, yang meliputi interpretasi (memahami masalah), analisis (membuat model matematika), evaluasi (menggunakan strategi yang tepat), dan inferensi (membuat kesimpulan). Subjek penelitian dipilih secara purposif dari 34 peserta didik, di mana 6 peserta (masing-masing 2 dari setiap tingkat kemampuan) akan dianalisis secara mendalam melalui tes dan wawancara.

Landasan Teori Kognitif Piaget dan Kekuatan Soal Cerita

Pemilihan subjek kelas 3 SD (usia 8–9 tahun) didukung oleh teori perkembangan kognitif Piaget, yang menempatkan mereka pada tahap Operasional Konkret. Pada tahap ini, peserta didik mulai berpikir logis tentang objek nyata, namun masih kesulitan dengan konsep abstrak. Soal cerita perkalian sangat relevan karena mengintegrasikan konsep matematika (dunia abstrak) dengan masalah kehidupan sehari-hari (dunia konkret) , sehingga mendorong mereka untuk memodelkan masalah, suatu proses yang diperlukan untuk mengembangkan pemikiran logis.

Metode Triangulasi untuk Mendapatkan Profil Kritis Mendalam

Untuk memastikan keabsahan temuan, penelitian ini menggunakan triangulasi teknik, yaitu membandingkan data dari tes tertulis dan wawancara tak terstruktur. Tes uraian subjektif menilai proses berpikir peserta didik, bukan hanya hasil akhir. Wawancara tak terstruktur kemudian mengeksplorasi pola pikir mereka secara lebih dalam, disesuaikan dengan indikator berpikir kritis pada setiap soal. Proses reduksi dan penyajian data model Miles dan Huberman akan menghasilkan gambaran naratif dan tabel yang komprehensif mengenai profil berpikir kritis peserta didik.

Manfaat dan Kontribusi Baru bagi Pendidikan Matematika

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi signifikan bagi pendidikan matematika. Bagi guru, profil berpikir kritis yang teridentifikasi akan menjadi referensi berharga untuk merancang strategi pembelajaran yang lebih efektif dan soal yang melatih HOTS, serta memberikan bimbingan yang tepat. Selain itu, penelitian ini mengisi kesenjangan (GAP) dalam kajian mendalam tentang bagaimana indikator berpikir kritis termanifestasi dalam proses penyelesaian soal cerita perkalian di kelas 3 SD, sekaligus memberikan kontribusi baru dengan fokus pada materi perkalian secara spesifik dan mendalam.

Peniliti : Noer Mahmudiyah