Menemukan Titik Temu Pendidikan Global dan Nasional Perbandingan Kurikulum Cambridge dan Kurikulum Indonesia di Sekolah

fip.unesa.ac.id, SURABAYA––Perkembangan pendidikan global semakin mendorong sekolah untuk beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Salah satu tren yang berkembang adalah penerapan dua kurikulum sekaligus, yaitu kurikulum Cambridge yang berskala internasional dan kurikulum Indonesia yang berlandaskan profil pelajar Pancasila. Fenomena ini menarik perhatian pendidik, orang tua, dan pemerhati pendidikan karena dianggap dapat memperkaya pengalaman belajar, namun juga memunculkan tantangan baru.

Kurikulum Cambridge menekankan pendekatan inquiry-based learning, kemampuan berpikir kritis, serta asesmen berbasis analisis. Sebaliknya, kurikulum Indonesia mengedepankan nilai karakter, budaya nasional, pembelajaran berdiferensiasi, serta integrasi konteks lokal. Meski berbeda fokus, keduanya dianggap memiliki potensi saling melengkapi.

Beberapa sekolah nasional plus dan internasional di Indonesia telah menerapkan model kurikulum ganda. Pihak sekolah menilai penerapan tersebut dapat memperluas wawasan siswa agar mampu berkompetisi di tingkat global, sekaligus menjaga identitas budaya bangsa. Namun, sebagian orang tua dan guru juga mempertanyakan kesiapan siswa, terutama di tingkat sekolah dasar yang rentan mengalami beban akademik berlebih.

Temuan lapangan menunjukkan bahwa sebagian siswa merasa terbantu melalui metode Cambridge yang lebih eksploratif, namun ada juga yang mengalami kesulitan akibat padatnya materi dan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa utama pembelajaran. Tantangan adaptasi, kesiapan guru, serta sarana pendukung menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kurikulum.

Bulan Novenia, mahasiswa Teknologi Pendidikan FIP UNESA, memberikan pandangan kritis mengenai fenomena tersebut. “Kurikulum yang baik bukan hanya tentang standar internasional atau lokal, tetapi bagaimana pendidikan dapat menjangkau kesiapan siswa, mendukung perkembangan karakter, dan membantu mereka menemukan potensinya,” ungkapnya dalam sesi wawancara.

Senada dengan itu, Ria Risky Syah Putri Ayu Fadilla, mahasiswa PGSD FIP UNESA, menilai bahwa kolaborasi antara kedua kurikulum dapat menjadi inovasi positif selama tidak mengabaikan prinsip keberpihakan pada perkembangan anak. “Siswa sekolah dasar masih dalam tahap fondasi. Yang terpenting bukan seberapa banyak kurikulum diterapkan, tetapi bagaimana anak belajar dengan nyaman, bertahap, dan bermakna,” jelasnya.

Dengan dinamika perkembangan pendidikan yang terus bergerak, perdebatan mengenai kurikulum global dan kurikulum nasional bukan lagi soal mana yang harus dipilih, melainkan bagaimana keduanya dapat diharmonisasikan. Harapannya, pendidikan di Indonesia dapat melahirkan generasi yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga berkarakter, adaptif, dan mampu berperan dalam masyarakat global tanpa kehilangan identitasnya.

Dokumentasi: Pinterest