Nancy selalu duduk di barisan tengah kelas. Tidak di depan yang dipenuhi semangat atau di belakang yang riuh dengan tawa. Setiap hari hidupnya berjalan dengan pola yang sama, datang pagi, duduk di bangku tengah, mendengarkan guru, mencatat rapi, lalu pulang. Ia menikmati rutinitas itu karena aman, tidak ada risiko gagal dan tidak ada yang menuntut lebih. Namun, jauh di dalam dirinya, ada ruang kosong yang terus bergema pelan, “aku ini sebenarnya mau jadi apa?”
Tidak ada lomba, tidak ada organisasi, tidak ada jejak yang bisa membuatnya diingat. Ia seperti bayangan yang lewat di koridor sekolah, dikenali, tetapi tidak benar-benar diperhatikan.
“Kenapa sih, kamu nggak ikut lomba aja?” tanya Putri, teman sebangkunya.
Nancy tersenyum samar. “Aku nggak bisa ngomong di depan orang, Put. Lagian… buat apa?”
“Ya buat pengalaman lah, Nan. Kamu tuh pinter, cuma nggak pernah nyoba.”
Nancy hanya tertawa kecil, mencoba menutupi kegugupan yang tiba-tiba menyeruak.
“Ah, nanti-nanti aja deh,” ujarnya ringan. Padahal ia tahu kalimat itu adalah bentuk penundaan yang sudah terlalu sering diucapkan.
Waktu berjalan cepat. Informasi tentang ujian masuk perguruan tinggi mulai memenuhi udara. Teman-temannya sibuk mengikuti bimbingan belajar, saling bertukar strategi, atau membicarakan kampus impian dengan mata berbinar. Sementara Nancy hanya menatap layar ponselnya, membuka laman universitas yang ia impikan dengan hati yang bergetar. “Aku ingin ke sana…” bisiknya pelan. Namun, kalimat itu segera tenggelam oleh suara kecil dalam dirinya yang berkata, ‘Tapi aku pasti tidak bisa.’ Ia tahu nilai-nilainya akan biasa saja, tak buruk tetapi juga tak istimewa.
Malam-malamnya mulai diisi penyesalan. Ia belajar hingga larut, membuka kembali buku-buku yang dulu sering ia abaikan. Di depan jendela ia bergumam, “Kenapa baru sekarang aku merasa takut tertinggal?”
Nancy terus menatap daftar jurusan di layar. Jari-jarinya sempat berhenti di nama kampus yang sejak dulu ia impikan. “Kalau aku pilih ini… mungkin aku gagal,” gumamnya. Hening sejenak. Lalu kursor bergeser. Ia memilih kampus lain, jurusan lain. Bukan yang ia mau, tetapi yang menurutnya “aman.”
Hari-hari selanjutnya ia habiskan dengan mencari peluang lain. Rasa takut akan kegagalan mulai menyelimuti pikirannya. Ia membuka laman jalur mandiri, membaca persyaratan, menghitung biaya. Angka-angka di layar membuat dadanya sesak. “Uang segini banyak… dari mana?” gumamnya. Ia menatap layar lama sekali, lalu memutuskan untuk menutupnya.
Hari ujian pun tiba. Di ruangan itu, Nancy duduk dengan tangan gemetar. Soal-soal terasa asing, waktu berjalan terlalu cepat. Ketika bel tanda selesai berbunyi, dadanya terasa kosong. “Sudah selesai semua?” teriak pengawas. Nancy hanya mengangguk pelan, meski hatinya berteriak belum. Ia keluar dari ruangan dengan langkah pasrah sambil menatap langit yang kelabu. ‘Mungkin ini harga dari semua kemalasanku dulu,’ pikirnya lirih.
Waktu pengumuman datang di senja yang tenang. Nancy duduk di kamar, menatap layar dengan jantung berdegup. Sekali klik, hasilnya muncul. Selamat, Anda dinyatakan diterima. Ia menatap tulisan itu lama, tidak tahu harus senang atau kecewa.
“Aku diterima…” bisiknya, lalu senyum tipis muncul di bibirnya. Tatap matanya tetap sayu. Rasa syukur dan getir menyatu, menciptakan keheningan yang panjang.
Hari pertama kuliah pun tiba, membawa suasana baru bagi Nancy. Gedung-gedung tinggi, wajah-wajah asing, suara ramai mahasiswa berlalu lalang. Nancy berdiri di tengah halaman, menatap sekeliling. “Jadi ini dunia baruku,” katanya lirih. Ia menegakkan bahu. “Kali ini, aku nggak mau jadi bayangan.”
Hari-harinya mulai sibuk. Ia belajar lebih giat, ikut organisasi, berbicara di depan kelas, bahkan dipercaya menjadi penanggung jawab mata kuliah. Awalnya ia takut bicara, tetapi setiap kali berdiri di depan orang banyak, ia merasa keberanian tumbuh di dalam dirinya. Ia mulai terbiasa begadang untuk mengerjakan laporan, rapat persiapan acara kampus, dan menertawakan betapa berbeda hidupnya sekarang dengan dulu.
Suatu malam, Putri menelepon dari kota lain. “Nan, aku liat kamu sibuk banget di kampus. Kamu beda banget dari waktu SMA.”
Nancy tertawa. “Hehe, iya. Aku cuma nggak mau nyesel lagi.”
Putri terdiam sebentar. “Kamu nggak nyesel masuk kampus itu?”
“Dulu iya,” jawab Nancy, “tapi sekarang… aku bersyukur. Karena dari sinilah aku mulai berani.”
Setelah panggilan berakhir, Nancy menatap langit dari jendela kamarnya. Langit malam itu jernih, bintang bertaburan, seperti potongan harapan kecil yang dulu ia pikir sudah hilang. Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum. “Lihat, Nan,” katanya pada diri sendiri, “dulu kamu takut banget sama dunia. Tapi ternyata, dunia nggak sekejam itu. Kamu sudah berusaha sampai sejauh ini.”
Langit yang dulu terasa jauh kini tampak semakin dekat. Ia tahu, dirinya tidak lagi sama seperti gadis yang dulu takut bermimpi. Kini setiap langkahnya adalah bukti bahwa manusia bisa berubah. Penyesalan tak selalu berarti akhir, melainkan awal untuk menemukan versi terbaik dari diri sendiri.
Penulis: Florencya Agatha (MP)
Editor: Ria Risky Syah Putri Ayu Fadilla (PGSD)
Dokumentasi: Pinterest