fip.unesa.ac.id, SURABAYA—IPK sempurna atau portofolio padat, mana yang sebenarnya lebih dicari dunia kerja masa kini? Pertanyaan ini menjadi dilema klasik yang sering menghantui mahasiswa, terutama saat mulai menapaki dunia perkuliahan. Di satu sisi, ada tekanan kuat untuk menjaga Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) setinggi mungkin sebagai tiket masuk ke dunia profesional. Namun, di sisi lain, realitas karier modern menuntut lebih dari sekadar angka di transkrip nilai. Dunia kerja kini menakar kesiapan seseorang dari keseimbangan antara kemampuan akademik dan pengalaman nyata: soft skill yang matang, kemampuan berorganisasi, hingga portofolio yang bisa dibuktikan. Di tengah tarik ulur antara ruang kelas dan kegiatan luar kampus, bagaimana mahasiswa bisa mengatur waktu agar tetap unggul di keduanya?
Keberhasilan lulusan perguruan tinggi kini tidak hanya diukur dari nilai akademik semata, melainkan dari harmoni antara prestasi akademik dan pengembangan diri non-akademik. Keduanya saling melengkapi, bukan saling meniadakan.
Siapa yang tidak bangga memiliki IPK tinggi? Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) merupakan cerminan dari kedisiplinan, fokus, serta komitmen terhadap bidang ilmu yang dipelajari. Meskipun pengalaman non-akademik memiliki peran vital, tetap perlu diingat bahwa prestasi akademik adalah fondasi utama yang membuka jalan menuju peluang profesional. Mahasiswa idealnya menjaga IPK di atas 3.00 sebagai indikator konsistensi, profesionalisme, sekaligus syarat administratif dalam proses seleksi beasiswa atau pekerjaan. Dengan dasar tersebut, pengalaman di luar kelas akan berfungsi sebagai nilai tambah yang membedakan seseorang di dunia kerja. Singkatnya, IPK membuka pintu, sementara pengalamanlah yang membuat seseorang tetap dipercaya di dalamnya.
Jika akademik mengajarkan “apa yang harus dipikirkan,” maka dunia non-akademik menuntun “bagaimana cara bertindak.” Pengalaman di luar kelas memiliki nilai besar karena melatih berbagai kemampuan penting, seperti:
- Kepemimpinan dan Kolaborasi: Kemampuan memimpin proyek, mengelola konflik, dan bekerja dalam tim lintas disiplin keterampilan yang mutlak dibutuhkan di lingkungan kerja manapun.
- Pemecahan Masalah Nyata: Kegiatan organisasi, volunteer, atau proyek sampingan memaksa mahasiswa menghadapi batasan sumber daya, deadline, dan dinamika manusia, melatih ketangkasan berpikir yang tidak diajarkan di buku teks.
- Networking Profesional: Organisasi adalah wadah emas untuk membangun jaringan dengan senior, alumni, hingga profesional industri.
Lantas, bagaimana cara mencapai keseimbangan yang proporsional di tengah jadwal yang padat? Kuncinya adalah manajemen waktu yang cerdas dan penentuan prioritas yang tegas.
- Terapkan Time Blocking: Alokasikan waktu spesifik untuk belajar rutin dan waktu spesifik untuk urusan organisasi atau proyek. Hindari mencampurkan keduanya dalam satu waktu. Anggap setiap kegiatan (kuliah, organisasi, hobi) sebagai janji temu yang harus dipenuhi.
- Pilih Proyek yang Relevan: Jangan mengikuti semua kegiatan. Pilih satu atau dua organisasi/proyek yang paling linear atau mendukung cita-cita karier Anda. Mahasiswa Teknologi Pendidikan, misalnya, sebaiknya fokus pada proyek pembuatan modul e-learning atau pengembangan media digital, bukan hanya sekadar kepanitiaan seremonial.
- Tentukan Batas Aman Akademik: Ketika memasuki masa kritis (minggu ujian, pengerjaan skripsi), beranikan diri untuk mengatakan “Tidak” sementara waktu pada tuntutan non-akademik yang berlebihan. Tapi perlu diingat, landasan untuk IPK perlu dijaga..
Menjadi mahasiswa hebat di era serba cepat ini bukan tentang memilih salah satu, melainkan tentang mengintegrasikan keduanya. Kampus adalah laboratorium untuk gagal dan mencoba. Gunakan masa ini untuk mengasah fondasi ilmu sembari membangun branding profesional
Lulusan yang dicari dunia kerja adalah mereka yang memiliki kemampuan berpikir selevel intelektual (IPK) dan mentalitas pejuang yang teruji di lapangan (Pengalaman). Jadilah mahasiswa yang holistik.
Penulis: Dyah Ayu (TP)
Editor: Nelly Najwa (PGSD)
Dokumentasi: Pinterest