fip.unesa.ac.id, SURABAYA––Di era pendidikan modern, profesi guru kembali menjadi sorotan. Bukan karena lemahnya kompetensi, tetapi karena ketimpangan antara tingginya tuntutan profesi dan kesejahteraan yang diterima. Saat sistem pendidikan terus berkembang, beban kerja guru juga meningkat. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi fasilitator, pembimbing karakter, inovator media pembelajaran, sekaligus pengelola administrasi digital yang terus bertambah.
Kurikulum Merdeka menjadi salah satu contoh perubahan yang menuntut guru untuk lebih adaptif, kreatif, dan responsif terhadap kebutuhan belajar peserta didik. Namun, di banyak daerah terutama di tingkat honorer dan sekolah non-negeri, realitas yang dihadapi jauh dari ideal. Banyak guru masih menerima gaji yang bahkan belum mencapai Upah Minimum Regional.
Mahasiswa calon guru pun mulai menyadari situasi ini bahkan sebelum memasuki dunia kerja. Nelly Najwa, mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), menilai bahwa persoalan kesejahteraan guru harus ditempatkan sebagai isu nasional yang mendesak.
“Guru diminta profesional, harus selalu update teknologi, ikut pelatihan, menghasilkan perangkat ajar digital, tapi realitanya masih banyak yang menerima gaji jauh dari layak. Ini bukan hanya soal uang, tapi penghargaan terhadap profesi guru,” jelas Nelly.
Tantangan tersebut bukan hanya terkait ekonomi, tetapi juga psikologis. Guru dituntut untuk memberikan pembelajaran yang menyenangkan dan berpusat pada peserta didik, padahal dalam banyak kasus mereka sendiri menghadapi tekanan finansial dan beban administrasi yang tidak ringan.
Ghisa Maulina, juga mahasiswa PGSD, menyatakan bahwa masa depan pendidikan Indonesia sangat bergantung pada kemampuan negara dalam menempatkan guru sebagai prioritas pembangunan.
“Kalau kita benar-benar ingin pendidikan maju, guru harus sejahtera dulu. Guru yang dihargai akan lebih fokus mendidik. Guru yang hidup layak akan mendidik dengan hati, bukan sekadar memenuhi kewajiban,” ujar Ghisa.
Meskipun demikian, banyak calon pendidik tetap memilih profesi ini bukan karena prospek finansial, melainkan karena panggilan moral dan keinginan untuk memberi dampak sosial. Hal ini menjadi potret bahwa pendidikan di Indonesia masih bertahan karena idealisme para guru dan calon guru, bukan karena sistem yang mendukung.
Perlahan, berbagai pihak mulai mendorong perubahan: mulai dari standar minimal penghasilan, perbaikan pemerataan sertifikasi, hingga sistem jenjang karier yang lebih transparan dan berkeadilan. Upaya tersebut diharapkan dapat menjadi jalan pembuka agar profesi guru mendapatkan penghormatan yang layak secara moral maupun ekonomi.
Pada akhirnya, pendidikan tidak akan bergerak tanpa guru. Jika Indonesia ingin mencetak generasi unggul dan berdaya saing global, maka langkah paling mendasar adalah memastikan para guru dapat hidup layak, dihormati, dan didukung untuk berkembang.
Karena masa depan pendidikan tidak hanya dibangun oleh kurikulum atau teknologi, tetapi oleh pendidik yang bekerja dengan hati. Dan untuk itu, mereka pantas mendapatkan apresiasi nyata.Dokumentasi: Pinterest