fip.unesa.ac.id, SURABAYA – Semarak Bulan Pendidikan masih berlanjut, serangkaian kegiatan ilmiah terus dilaksanakan untuk memperkaya inovasi di bidang pendidikan. Salah satunya yaitu Webinar Internasional dari Program Studi S1 Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya (PLB FIP UNESA) yang bertajuk “Cross-Cultural Approaches to Inclusive Education : Best Practice Southeast ASEAN”. Acara berlangsung Pada Kamis, 22 Mei 2025 di Auditorium Gedung O1 Lantai 2 dan melalui Zoom Meeting dengan mendatangkan Associate Proffesor Dr. Pennee Narot dari Khon Kaen University Thailand.
Acara yang dihadiri oleh mahasiswa PLB angkatan 2023 dan 2024 serta segenap dosen prodi PLB UNESA, dibuka dengan sambutan oleh Koordinator Prodi S1 PLB FIP UNESA, Dr.H.Pamuji, M.Kes., Ia menegaskan bahwa pendidikan inklusif menjadi fokus utama taraf Internasional. Aspek inklusivitas menghadirkan sejumlah hal menarik yang dapat dipelajari dan di adaptasi dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Negeri Gajah Putih. “Melalui kesempatan ini, silakan kalian eksplor pengetahuan sedalam mungkin agar mendapat manfaat dan ide inovatif untuk pendidikan inklusif kedepannya,” tuturnya.
Selanjutnya pada sesi pemaparan materi, Prof. Dr. Pennee Narot menjelaskan pendekatan lintas budaya pada pendidikan inklusif merupakan metode yang mengkaji bagaimana konteks budaya membentuk keyakinan dan perilaku dan mendorong penghormatan terhadap nilai-nilai budaya yang berbeda. Pendekatan lintas budaya sangat penting untuk mengurangi bias kultural dan membangun lingkungan kerja yang inklusif. Selain itu, juga dapat mempromosikan ruang kelas yang tegas dan mendukung pengajaran yang mudah beradaptasi serta dapat memperkuat kemitraan dengan masyarakat

Dalam sesi wawancaranya, Prof. Pennee menjelaskan bahwa secara umum tujuan pendidikan inklusif di Thailand serupa dengan Indonesia, yaitu menyiapkan dan menyelenggarakan pelayanan terhadap anak tanpa memandang kondisi fisik dan latar belakang apapun. Namun, terdapat sedikit perbedaan tujuan yang berkaitan dengan datangnya imigran dari Burma. “Pendidikan inklusif juga diharapkan menjadi sarana untuk membantu anak-anak imigran berintegrasi secara sosial dan budaya ke dalam masyarakat Thailand mengatasi hambatan bahasa dan budaya yang sering dihadapi oleh anak-anak imigran,” jelasnya.
“Di Thailand, kami juga menyediakan banyak sekolah inklusif termasuk universitas, kondisi kelas yang ramah dan menyenangkan bagi semua orang, bahkan program studi yang mendukung pemenuhan kebutuhan peserta didik disabilitas,” tambahnya.
Terakhir, ia membeberkan kesannya menjadi pemateri pada hari ini. Ia sangat senang dan bangga melihat respon mahasiswa yang antusias dalam mendiskusikan berbagai isu dan permasalahan di bidang inklusivitas. “Dari respon tersebut saya dapat melihat masa depan pendidikan inklusif di Indonesia akan berkembang kedepannya,” pungkasnya.
Penulis : Chantika Toti Yuliandani (PGSD)