Kisah yang kualami akan kuceritakan pada kalian semua, Rasanya sangat tidak bermanfaat apabila aku menyimpan sesal ini sendirian seumur hidupku. Raga ini telah Lelah dengan perasaan sesak yang tak berujung. Kuputuskan untuk mencurahkannya dalam bentuk tulisan agar kenangan ini tak hanya kubawa mati, tepai meninggalkan hikmah dan Pelajaran hidup bagi orang lain. Terlebih dua orang yang amat berjasa sekaliagus titik awal kisah ini dimulai.
Yah, aku adalah anak sulung dari salah satu keluarga tersohor di negaraku. Siapa yang tak kenal pengusaha sukses yang bergerak di bidang property dan bisnis “Alat Tulis”. Itulah ayahku, entah bangga atau muak atas semua citranya yang tersebar luas. Tak banyak yang tau bahwa Bintang bisnis yang mereka gemari memiliki keluarga yang berbanding terbalik dengan opini diluar sana. Sepasang suami-istri yang sama suksesnya dibidang bisnis dengan 3 anak yang memiliki prestasi melangit. Tersungkur sosok lemah, kecil dan tak terurus. Kehadirannya antara ada dan tiada. Bahkan aku sangat jarang melihatnya dirumah ini. Padahal aku sangat yakin bahwa ia tinggal serumah dengan ku. Revan Setya Adinugroho, nama belakang yang tak pernah ia sandang seumur hidupnya. Dia adalah bungsu dari keluarga ini. Adik kandungku.
Entah apa dosa nya, membuatnya amat sial terlahir ditengah kelaurga busuk ini. Aku yang memang pulang larut malam membuatku lapar dan dan ingin sekali memasak mie instan. Karena hanya sebatas itu kemampuan memasakku. Dengan penerangan pantry dapur tiba-tiba aku dikagetkan dengan bunyi pukulan yang berasal dari kamar kosong belakang dapur. Tidak pernah kudengar yang semacam ini. Lantas kumatikan kompor dan menghampiri asal suara tersebut.
Tubuhku kaku melihat pemadangan di depan mata. Melihat Revan menampar mukanya sendiri entah dengan alasan apa. Tapapannya yang kosong, tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sebelum tamparan itu Kembali mendarat mulus di pipinya, kucekal tangannya dengan kuat. Ini adalah intraksi pertamaku setelah 8 tahun silam. Tepatnya aku pergi meninggalkan rumah ini untuk belajar keluar negeri di umurnya yang masih satu tahun. Ia terkejut menatapku yang tiba-tiba berada di kamarnya dan berusaha melepaskan tangannya dariku.
“apa yang kau lakukan?” tanyaku sambil menatap matanya tajam.
Diam. Ia tak mengubrisku. Kini aku mulai melihat ekspresi baru di wajahnya. Ketakutan. Ia ketakutan melihatku. Usahanya pun mengendur, dengan perlahan ia beringsut mundur dengan pandangan yang tadinya menatapku tajam kini menunduk dalam. Reflek kulepaskan cekalan tanganku. Dengan cepat ia beringsut mundur sampai masuk kedalam kolong Kasur tidur.
Bingung sekali. Masih banyak teka-teki yang harus kupecahkan atas kejadian akhir-akhir ini. Semenjak kepulanganku dari LA semua berubah. Aku tak pernah lagi melihat senyum kebahagiaan terpancar di pagi hari, di meja makan dengan candaan adik bungsuku. Kini ia lebih sering menyendiri disudut ruangan yang memperhatikan kami makan dengan diam.
“Revan apa yang kau lakukan? Ayo keluar” kini aku sedikit melembutkan suaraku. Berharap ia akan keluar dari tempat persembunyiannya.
“Arsya sedang apa kamu malam malam disini?”
Suara yang mengagetkanku, membuatku berdiri dan ternyata sudah ada mama dan papa depan pintu.
“Pa aku tadi lihat Revan nampar mukanya sendiri. Dan sekarang ia ada di bawah kolong Kasur” jelasku pada papa.
Papa hanya diam menatapku. Dan beralih ke bawah Kasur. Tidak ada satu katapun yang terucap setelahnya. Lantas mama menuntunku keluar dari kamar tersebut.
“Sayang kau sampai rumah jam berapa? Kenapa sudah selarut kau malah memasak di dapur dan tidak menyelesaikan maskaanmu?” Mama memegang kedua sisi pundakku sambil menuntunku menuju dapur. Disana sudah ada Bi Rum yang menuntaskan masakanku dan menyajikannya diatas meja makan.
“Tadi sampai rumah jam setengah sebelas ma
“makasih Bi Rum” ucapku bergegas menuju meja makan dan memakan mie ku dengan lahap.
Lagi lagi malam itu aku mengabaikan apa yang baru saja terjadi. Mama juga terlihat mengalihkan pembicaraan. Dan aku tak terlalu meperdulikan hal itu lagi. Mungki Revan sedang mimpi buruk. Ah lebih tepatnya ada hal penting yang tak pernah luput dari sudut mataku bahwa Papa mengunci kamar kosong kala itu.
——————–
Keesokan harinya aku tebangun dan melupakan hal tesebut. Segera ku bergegas mandi dan bersipa menuju kantor. Karena pagi ini akan diadakan rapat dengan client penting.
“kak… cepat turun kebawah, makanan sudah siap” tiara mengetuk pintu kamarku dengan sedikit keras. Tiara adikku yang paling cerewet tidak ada duanya.
Segera kubergegas turun dengan menenteng tas dan jas kerjaku. Yah aku merupakan pewaris perusaan Papa yang bergerak di bidang ‘alat tulis’ meski belum sepenuhnya. Tapi Sebagian besar tanggung jawab itu berada di pundakku. Di meja makan hanya kutemui Mama dan Papa yang sedang makan. Diam tanpa suara. Selalu seperti ini setelah kepulanganku.
“Ma, tiara mana?” tanyaku pada mama yang hanya mentapku sekilas dan melanjutkan makannya.
“Tiara bernagkat duluan” Papa lah yang menawab.
“padahal Tiara tadi yang menjemputku dikamar, kukira dia ingin berangkat bersamaku seperti dulu. Ternyata dia berangkat lebih dulu dan memilih bersama Moni, motornya” ujarku sambil mengambil selembar roti dan mengolesnya dengan selai kacang kesukaanku.
Aku tak tahan dengan keadaan suram ini, akhirnya Kembali kubuka obrolan ditengah sarapan keluargaku.
“Pa, Arya kapan pulang dari Aussie? Bukan seharusnya tahun kemarin ya?” Tiba-tiba aku teringat adik laki-lakiku yang sedang menamatkan studinya di Aussie.
“Habiskan makanan di mulutmu dulu Arsya” Mama menanggapiku lembut sekali, tapi tetap fokus dengan makanannya.
“Arya akan Melanjutkan Studi S2 nya disana juga. Kemungkinan dua tahun lagi baru pulang
“Ayo Ma, sepertinya kita sudah telat. Arsya kita berangkat dulu” lanjut Papa sambil beralulu diikuti Mama.
“Mama sama Papa kenapa tidak berpamitan kepada Revan?” ujarku sedikit berteriak. Tapi sepetinya tidak terdengar
Padahal mereka mendengarnya dengan mata berkaca-kaca.
Ponselku berdering nyaring. Nama Angga, sekretarisku menelpon.
“Oke aku Berangkat. Kau tunggu saja di lobby kantor” ujarku sambil bergegas pergi. Tapi sebelum itu aku melihat Revan termenung menatapku di sudut ruang makan. Tapi waktu tidak berpihak degan ku. Karena kupikir Cleint ku lebih mendesak saat itu.
————–
“Kukira 8 tahun pengobatan akan membawa perubahan besar di kehidupan Arsya mas” sayup-sayup ku denga suara tangisan mama di taman belakang. Entah mengapa jam pulang kantor ku semakin larut. Kini aku baru sampai rumah jam setengah dua belas.
“Aku tak ingin kehilangan mereka semua, 8 tahun waktu kita terbuang hanya untuk pengobatan Arsya mas… rasanya sia-sia. Berpisah jauh dengan anakku malah membuatnya semakin parah” Mama masih menangis.
Aku masih tidak memahami apa yang sedang mereka bicarakan. Rumah itu sepi. Dan selalu seperti ini. Berbanding terbaling dengan delapan tahun silam. Mama menangis di gazebo belakang rumah ditemani oleh ayah adalah hal yang baru. Berpisah lama dengan keluarga membuatku merasa asing di rumahku sendiri. Apalagi banyak sekali tatanan rumah yang berubah. Ketiga adikku yang entah aku tak pernah melihat batang hidungnya. Kecuali Revan.
“kak…”
Suara yang sangat kecil mengalun halus ditelingaku. Lantas aku berbalik badan. Betapa terkejutnya aku melihat adikku berdiri tepat di belakangku dengan pakaian lusuh penuh darah. Banyak sekali luka segar di muka juga ditubuh mereka.
Ingatan itu berputar di otakku. Kejadian 8 tehun silam. Dimana aku Bersama ketiga adiiku ingin menyusul Mama dan Papa yang sedang beracara di puncak gunung. Berawal dari ide gilaku yang mengajak mereka semua pergi ke puncak gunung karena ingin berlibur. Hujan deras yang tidak bisa kuhindari, jalanan yang licin mengakibatkan mobil yang kami tumpangi terperosok kedalam jurang.
———
“Aaaaaaa…..” Arsya berteriak takut dan kesakitan kala Sebagian ingatannya Kembali.
Yah inilah kejadian yang sebenarnya. Arsya yang melakukan pengobatan Psikis di LA selama 8 tahun rupanya tak bisa mengalahkan rasa trauma dan bersalahhnya atas kematian ketiga adikknya.
Penulis: Rifda Sakinah Arrahmany
Sumber Foto: Pinterest