Belajar Bukan Soal Angka, Tapi Tentang Siapa Dirimu di Dunia Kuliah

 fip.unesa.ac.id, SURABAYA—Di tengah padatnya rutinitas kuliah, banyak mahasiswa yang tanpa sadar kehilangan semangat dan arah. Mulai dari tugas, tekanan nilai, serta ekspektasi dari lingkungan perkuliahan membuat dunia akademik terasa menekan. Padahal, pendidikan seharusnya dapat menjadi ruang untuk bertumbuh, bukan sekadar tempat mengejar angka.

Fenomena kehilangan motivasi ini bisa dialami oleh siapapun. Peralihan dari lingkungan sekolah yang terstruktur menuju dunia kuliah yang lebih bebas sangat menuntut kemampuan adaptasi seseorang. Tidak jarang, proses ini lah yang membuat mahasiswa merasa terjebak di antara tuntutan akademik dan keinginan pribadi. Namun, kehilangan arah bukan akhir dari perjalanan karena itu justru menjadi tanda bahwa seseorang sedang dalam proses memahami dirinya.

Menemukan diri kembali di dunia akademik bisa dimulai dari langkah-langkah sederhana. Pertama, harus berani memberi jeda dan mengenali apa yang benar-benar dirasakan. Kemudian menyadari bahwa lelah itu wajar dan bisa membantu seseorang untuk menata ulang prioritasnya. Kedua, mulai melakukan rutinitas kecil yang realistis, seperti membuat to-do list harian atau menjadwalkan waktu istirahat, agar keseimbangan fisik dan batin tetap terjaga. Ketiga, mencari dukungan sosial, baik itu dari teman, dosen, atau konselor kampus. Karena berbagi cerita seringkali meringankan beban dan membuka perspektif baru.

Selain itu, penting juga untuk mengubah cara pandang kita terhadap pendidikan. Belajar bukan hanya tentang menguasai materi, tapi juga tentang mengasah cara berpikir, beradaptasi, dan memahami nilai dari setiap proses. Ketika seseorang mulai melihat pembelajaran sebagai bagian dari pengembangan diri, suatu tekanan akan berganti menjadi motivasi.

Pada akhirnya, menemukan diri di tengah dunia akademik adalah perjalanan yang tidak instan. Dibutuhkan waktu, refleksi, dan keberanian untuk menerima perubahan. Namun saat seseorang berhasil menemukan ritmenya sendiri, pendidikan akan kembali terasa bermakna, bukan sebagai beban, tapi sebagai bagian dari berproses menjadi versi terbaik dari dirinya.

Penulis: Ghisa Maulina Ayudya Pramesti (PGSD)

Dokumentasi: Fadly Nogianto (TP)