fip.unesa.ac.id, SURABAYA––Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Viona Agustin dari Program Studi Bimbingan dan Konseling bersama Fadly Nogianto dari Program Studi Teknologi Pendidikan, menyoroti sistem pendidikan di Tiongkok yang belakangan menjadi sorotan global. Dalam sebuah laporan yang dikutip dari pemberitaan Kompas, sistem pendidikan di negeri itu dikenal sangat padat, ketat, dan berorientasi pada hasil akademik tinggi.
Dalam program pendidikan tersebut, siswa dapat berada di sekolah hingga 14 jam setiap hari. Aktivitas mereka sebagian besar diisi dengan pelajaran inti seperti matematika, bahasa, sains, hingga pelajaran teknologi dengan intensitas tinggi. Di sekolah, siswa jarang terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler, bahkan kegiatan seni atau olahraga dilakukan dalam batas yang sangat kecil. Bagi sebagian besar sekolah di Tiongkok, akademik masih menjadi prioritas utama.
Salah satu hal yang menarik perhatian adalah penerapan teknologi kecerdasan buatan (AI) sejak dini. Anak-anak diperkenalkan dengan sistem pembelajaran berbasis teknologi untuk mempersiapkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga adaptif terhadap perkembangan era digital dan revolusi industri. Penerapan AI dalam pendidikan dilakukan melalui perangkat pembelajaran digital, sistem pemantauan perkembangan siswa, hingga program pembelajaran personal berbasis data.
Namun, di balik prestasi akademik yang tinggi, sistem pendidikan ini juga menuai kritik dari berbagai pihak. Tidak adanya ruang bagi ekspresi minat dan bakat di luar akademik dinilai dapat menghambat perkembangan kreativitas dan kesehatan mental siswa. Tekanan dan jam belajar yang panjang membuat sebagian siswa rentan mengalami stres, burnout, bahkan kehilangan waktu untuk bersosialisasi.
Viona Agustin menilai bahwa sistem pendidikan tersebut mencerminkan fokus kuat pemerintah Tiongkok terhadap persaingan global, terutama dalam bidang teknologi dan sains. Menurutnya, ada banyak hal yang dapat dipelajari Indonesia dari model ini, terutama dalam hal pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Namun, ia juga menekankan pentingnya keseimbangan. “Pendidikan seharusnya tidak hanya soal prestasi akademik, tetapi juga kesehatan mental, karakter, dan kesempatan untuk berkembang sesuai potensi,” ujarnya.
Senada dengan itu, Fadly Nogianto melihat bahwa penerapan AI dalam pendidikan adalah inovasi yang relevan dan tak terhindarkan di masa depan. Ia menilai bahwa Indonesia perlu mulai mengintegrasikan teknologi secara lebih sistematis, namun tetap mengutamakan keberagaman metode pembelajaran dan kebutuhan emosional siswa.
Diskusi mengenai sistem pendidikan Tiongkok ini menjadi refleksi penting di tengah upaya Indonesia menuju transformasi pendidikan berbasis Kurikulum Merdeka. Dengan menyeimbangkan teknologi, nilai kemanusiaan, kreativitas, serta kesehatan mental, diharapkan sistem pendidikan nasional dapat berkembang lebih adaptif, inklusif, dan berdaya saing.
Dokumentasi: Pinterest