Di era digital saat ini, Artificial Intelligence (AI) tidak hanya hadir sebagai alat bantu pembelajaran, tetapi juga mulai digunakan oleh siswa sebagai tempat untuk mencari dukungan emosional. Berbagai platform AI dan chatbot, baik yang dirancang untuk tujuan edukasi maupun sosial, kini menjadi “teman curhat” bagi banyak pelajar. Fenomena ini berkembang cepat karena AI selalu tersedia, tidak menghakimi, dan memberikan respons instan saat siswa merasa stres, cemas, atau kesepian. Namun, di balik manfaatnya, ketergantungan siswa pada AI untuk kebutuhan emosional juga menghadirkan sejumlah risiko yang perlu dipahami oleh guru dan orang tua supaya pendampingan terhadap generasi muda tetap optimal.
Salah satu alasan utama siswa bergantung pada AI adalah kemudahan akses. Chatbot dapat dihubungi kapan saja, terutama pada malam hari ketika siswa merasa sendirian dan tidak memiliki tempat lain untuk bercerita. Bagi siswa yang mengalami kecemasan sosial atau merasa tidak nyaman berbicara dengan orang dewasa, chatbot menjadi ruang aman untuk mencurahkan isi hati mereka. AI juga memanfaatkan bahasa yang ramah dan menenangkan, sehingga siswa merasa dihargai dan dipahami. Dalam kondisi tertentu, chatbot bahkan dapat memberikan latihan pernapasan, saran mengelola stres, atau pesan motivasi yang membantu mereka merasa lebih baik secara sementara. Hal ini membuat siswa merasakan kenyamanan yang sering kali sulit mereka dapatkan dari lingkungan sekitar.
Meski terlihat membantu, ketergantungan emosional pada AI dapat berkembang menjadi masalah baru. AI bukan manusia dan tidak memiliki empati sejati. Respons yang diberikan robotik dan didasarkan pada pola data, bukan pemahaman emosional yang kompleks seperti yang dimiliki manusia. Ketika siswa terus mencari kenyamanan dari chatbot, mereka berisiko mengurangi interaksi sosial nyata yang sangat penting bagi perkembangan emosional. Lebih jauh lagi, AI umum tidak dirancang untuk menangani krisis psikologis seperti pikiran menyakiti diri sendiri, trauma, atau tekanan mental berat. Respons yang tidak akurat atau tidak sensitif dapat memperburuk keadaan siswa. Selain itu, isu keamanan data juga menjadi kekhawatiran besar. Curhatan emosional siswa yang bersifat pribadi dapat disimpan atau dianalisis oleh sistem AI, dan jika tidak dikelola dengan baik, informasi sensitif tersebut bisa disalahgunakan.
Peran guru dan orang tua menjadi semakin penting dalam menghadapi fenomena ini. Edukasi mengenai literasi digital dan literasi AI harus diberikan sejak dini agar siswa paham apa yang boleh dan tidak boleh mereka percayakan kepada chatbot. Guru dan orang tua perlu menjelaskan bahwa AI bukan pengganti manusia, melainkan alat bantu yang memiliki batasan. Komunikasi terbuka di rumah dan di sekolah juga harus ditingkatkan. Siswa yang memiliki ruang aman untuk bercerita kepada orang dewasa cenderung tidak mencari dukungan emosional berlebihan pada AI. Selain itu, pendampingan penggunaan teknologi penting dilakukan. Memantau aplikasi yang sering digunakan siswa, memahami cara kerja platform AI, serta memastikan mereka menggunakan layanan yang aman dapat melindungi siswa dari risiko privasi dan informasi keliru.
Guru dan orang tua juga perlu mendorong siswa untuk memperkuat kemampuan sosial dan emosional mereka melalui kegiatan nyata, seperti diskusi, kerja kelompok, konseling tatap muka, serta interaksi antarteman. Hubungan manusia tetap tidak tergantikan dalam membangun empati, komunikasi, dan kemampuan mengelola emosi. Teknologi dapat menjadi penunjang, tetapi bukan sumber utama dalam perkembangan mental seseorang. Ketika siswa belajar menyeimbangkan penggunaan AI dengan interaksi langsung yang sehat, mereka dapat memanfaatkan teknologi secara positif tanpa mengorbankan kesejahteraan emosionalnya.
Pada akhirnya, ketergantungan siswa pada AI untuk dukungan emosional adalah fenomena yang perlu disikapi dengan bijak, bukan ditakuti. Guru dan orang tua memiliki peran besar dalam membimbing siswa memahami manfaat dan batasan AI. Dengan pendampingan yang tepat, siswa dapat memanfaatkan teknologi secara aman, bertanggung jawab, dan tetap terhubung dengan manusia di sekitarnya. Mengajarkan mereka cara mengenali emosi, melatih empati, dan membangun hubungan sosial nyata adalah fondasi utama dalam menjaga kesehatan mental di era digital yang semakin kompleks ini.
Penulis: Alifah