fip.unesa.ac.id, SURABAYA–Bulan Mei menjadi momen istimewa bagi dunia pendidikan Indonesia, ditandai dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap 2 Mei, bertepatan dengan hari lahirnya Ki Hadjar Dewantara–pelopor dan Bapak Pendidikan Nasional. Di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Surabaya (UNESA), peringatan ini tak hanya dirayakan sehari, tetapi sepanjang bulan Mei yang dikenal sebagai Bulan Pendidikan. Selama sebulan penuh berbagai kegiatan edukatif dan kolaboratif seperti webinar, seminar kebangsaan, mimbar ilmiah, serta berbagai lomba. yang ditutup dengan acara puncak berupa jalan sehat dan gelar karya dosen serta mahasiswa.
Semua rangkaian kegiatan ini tidak sekadar menjadi agenda rutin, tetapi juga wujud nyata upaya meneladani semangat Ki Hadjar Dewantara dalam memperjuangkan pendidikan yang inklusif, berkeadilan, dan berlandaskan nilai kebudayaan. Hardiknas di FIP UNESA menjadi momentum refleksi terhadap kondisi pendidikan nasional, sekaligus dorongan untuk terus menumbuhkan semangat belajar, mengajar, dan memperbaiki sistem pendidikan agar lebih merata, berkualitas, serta ramah bagi semua kalangan.
Sebagai institusi yang berfokus pada bidang pendidikan, UNESA secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Salah satu aspek penting yang diintegrasikan dalam pelaksanaan Tri Dharma tersebut adalah komitmen terhadap inklusi pendidikan.

Ketua Pusat Unggulan Ilmu Disabilitas (PUI-DIC) UNESA, Prof. Dr. Budiyanto, M,Pd., menekankan pentingnya pendidikan sepanjang hayat dan penerapan sistem pendidikan yang ramah bagi semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas. “UNESA telah mengambil langkah nyata dengan mendeklarasikan diri sebagai kampus ramah disabilitas dan telah mengintegrasikan prinsip inklusivitas ke dalam seluruh aspek Tri Dharma Perguruan Tinggi salah satunya dengan mendirikan Unit Layanan Anak Berkebutuhan Khusus (ULABK) yang menjadi pusat riset disabilitas satu-satunya di Indonesia yang mendapatkan rekognisi dari Kemendiktiristek,.” terangnya.
Tak hanya itu, inklusivitas dalam pembelajaran di perguruan tinggi adalah bentuk implementasi dari UUD No.8 Tahun 2016 yang mewajibkan setiap perguruan tinggi yang memiliki program studi pendidikan wajib memuat mata kuliah pendidikan inklusif. Ia juga menyoroti pentingnya kampanye kesadaran publik, penguatan regulasi, serta implementasi kebijakan pendidikan yang setara secara internasional demi terciptanya pendidikan tinggi yang inklusif di Indonesia.
“Saya berharap kedepannya, Indonesia dapat menerapkan sistem pendidikan yang ramah untuk semua (inklusivitas) dan setara seperti di tingkat internasional,” pesannya.
Kolaborasi antara dosen dan mahasiswa menjadi kunci utama dalam mewujudkan sistem pendidikan inklusif yang baik di Indonesia. Dyah Amelia Susanti, mahasiswa S2 Bimbingan dan Konseling, turut menyampaikan pandangannya mengenai peran penting mahasiswa dalam mewujudkan pendidikan yang lebih baik di Indonesia. Menurutnya, mahasiswa dapat berkontribusi melalui keterlibatan aktif dalam kegiatan organisasi, penelitian, maupun pengabdian kepada masyarakat. Melalui aktivitas tersebut, mahasiswa berkesempatan menjadi agent of change yang mampu mengadvokasi berbagai isu pendidikan serta menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak. Kolaborasi ini diharapkan mampu melahirkan solusi-solusi inovatif yang relevan dengan tantangan nyata di dunia pendidikan saat ini.
“Semoga para pelajar dapat memandang pendidikan sebagai sebuah kebutuhan esensial, bukan sekadar kewajiban atau bahkan tuntutan semata. Sehingga tumbuh kesadaran penuh bahwa belajar merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia,” harapnya.
Penulis: Nadea Diva Nurfin Afrilia (BK), Chantika Toti Yuliandani (PGSD), Rifda Sakinah Arrahmahny (PG )